FIQIH MUAMALAH II
TENTANG SYIRQAH
Disusun Oleh :
Nama Kelompok : 1. Baharuddin
2. Muhammad Yani
3. Baharuddin
Prodi : Perbankan Syariah
Semester : IV ( Empat )A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BARUMUN RAYA
KABUPATEN PADANG LAWAS
T.A 2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita curahkan ke hadirat
Allah SWT yang telah memberikan kita banyak nikmat, nikmat yang tak terhingga
banyaknya, Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Makalah
Syirqah” ini Shalawat bertangkaikan salam kita junjung tinggikan ke Ruh Baginda
Rasulullah SAW yang selalu kita harap – harapkan syafaatnya hingga di akhir
kelak nanti.
Terima kasih penyusun ucapkan kepada
Bapak Dosen Pembimbing yang telah mempercayakan dan memberikan arahan,
bimbingan, dan juga waktu dalam penyusunan dalam makalah ini. Tak lupa pula
penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua rekan – rekan Mahasiswa dan juga
semua pihak – pihak yang telah ikut membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam
makalah ini masih terdapat kekurangan dan juga kesalahan. Baik dalam pengejaan
dan juga kesalahan-kesalahan lain. Mengingat akan pengetahuan penyusun yang
masih terbatas. Oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritikan, saran,
dan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah ini dan
makalah-makalah berikutnya yang akan datang.
Wassalam,
Sibuhuan, Februari 2014
Penyusun,
Kelompok I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A.
Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
C.
Tujuan ................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................... 3
A. Pengertian Syirkah................................................................................................ 3
B. Dasar Hukum Syirkah........................................................................................... 3
a) Al Quran ........................................................................................................ 3
b) Hadis .............................................................................................................. 3
C. Rukun Dan Syarat Syirkah................................................................................... 4
D. Macam-Macam Syirkah........................................................................................ 4
1)
Syirkah
Inân ................................................................................................... 5
2)
Syirkah
‘Abdan .............................................................................................. 5
3)
Syirkah
Mudhârabah ...................................................................................... 6
4)
Syirkah
Wujûh ............................................................................................... 6
5)
Syirkah
Mufâwadhah ..................................................................................... 7
E. Mengakhiri Syirkah............................................................................................... 8
F. Praktik Syirkah...................................................................................................... 8
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 9
A.
Kesimpulan.......................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari, manusia tidak akan
terlepas dari hubungan terhadap
sesama manusia. Tanpa hubungan dengan orang lain, tidak mungkin berbagai
kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Terkait dengan hal ini
maka perlu diciptakan suasana yang baik terhadap sesama manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan akad syirkah dangan pihak lain. Di sini dipaparkan berbagai macam definisi dan
teori-teori tentang Syirkah. Kata syirkah dalam bahasa
Arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yasyraku (fi’ilmudhari’),
syarikan / syirkatan / syarikatan (mashdar / kata dasar); artinya menjadi sekutuatau serikat [1]. Kata
dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut
Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, 3 /
58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis),
syirkah berarti mencampurkan dua bagian
atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya
(An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih,
yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan
memperoleh keuntungan (An-Nabhani, 1990: 146). Menurut istilah para fuqaha’, syirkah
adalah kerja sama untuk mendayagunakan (tassaruf) harta yang dimiliki dua orang secara
bersama-sama oleh keduanya, yakni saling mengizinkan kepada
salah satunya untuk mendaya gunakan harta milik keduanya, namun masing-masing
memiliki hak untuk bertassaruf. (M. Rizal Qosim, 2009: 112) Syirkah hukumnya ja’iz (mubah), berdasarkan dalil
Hadis Nabi Shalallahu alaihi wasalam berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap
syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai
nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam
membenarkannya. Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda, sebagaimana dituturkan Abu
Hurairah ra : Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku
adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah
satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. [HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni]. Berdasarkan uraian diatas dan melihat pentingnya
pembelajaran tentang Syirkah, maka penyusun menyusun
sebuah makalah yang berjudul “Syirkah”.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, dapat
dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini
adalah:
1.
Apa pengertian
syirkah/perkongsian?
2.
Apa dasar hukum
syirkah/perkongsian?
3.
Apa saja rukun dan syarat syirkah/perkongsian?
4.
Apa saja macam-macam syirkah/perkongsian?
5.
Bagaimana mengakhiri syirkah/perkongsian?
6.
Bagaimana praktik syirkah/perkongsian?
C.
Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan.
Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1.
Mengetahui pengertian
syirkah/perkongsian
2.
Mengetahui dasar hukum
syirkah/perkongsian
3.
Mengetahui rukun dan
syarat syirkah/perkongsian
4.
Mengetahui macam-macam syirkah/perkongsian
5.
Mengetahui cara mengakhiri syirkah/perkongsian
6.
Mengetahui praktik syirkah/perkongsian
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syirkah
Kata
syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il
mâdhi), yasyraku (fi’il mudhâri’), dan mashdar (kata
dasar)nya ada tiga wazn (timbangan), boleh dibaca dengan salah satunya,
yaitu: syirkatan / syarikatan /syarakatan; artinya
persekutuan atau perserikatan. Dan dapat diartikan pula dengan percampuran,
sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad, ayat 24.[2]
Akan
tetapi, menurut Abdurrahman Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih
fasih.[3]
Adapun
menurut istilah para ulama fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama
antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[4]
B.
Dasar Hukum Syirkah
a)
Al Quran
Ayat-ayat Al Quran yang memerintahkan agar ummat islam saling tolong
menolong dalam berbuat kebaikan, seperti dalam QS. Al maaidah:2 dapat
dijadikan dasar hukum syirkah karena syirkah merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan perintah tolong menolong berbuat kebaikan dalam hal penghidupan.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah,
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu)
binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula)
mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia
dan keredhaan dari Rabbnya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,
maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu
kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu
berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya”. (QS. 5:2)
b)
Hadis
Syirkah hukumnya jâ’iz
(mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr (pengakuan)
beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi,
orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan
Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu
Hurairah ra.:
“Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua
pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya.
Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
C.
Rukun Dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
- Akad (ijab-kabul), disebut juga shighat;
- Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta);
- Obyek akad (mahal), disebut juga ma’qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu:
- Obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli;
- Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
D.
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum
syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:[5]
(1)
syirkah inân;
(2)
syirkah abdan;
(3)
syirkah mudhârabah;
(4)
syirkah wujûh; dan
(5)
syirkah mufâwadhah
(An-Nabhani, 1990: 148).
An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan
syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan
dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,
abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga
macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah,
Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).[6]
1)
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memberi konstribusi kerja (‘amal) dan modal (mâl).[7] Syirkah
ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani,
1990: 148).
Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat
menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah.
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya
sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd);
sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan
modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada
saat akad.[8]
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya,
masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib
ra. pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan
keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
(An-Nabhani, 1990: 151).
2)
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi
modal (mâl).[9]
Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek
atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu,
sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini
disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35).
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk
mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya
akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi
boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa
tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa
pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh
sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (An-Nabhani,
1990: 151). Ibnu Mas’ud ra. pernah berkata, “Aku pernah berserikat dengan
Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada
Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak
membawa apa pun.” [HR. Abu Dawud dan al-Atsram].
Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau
membenarkannya dengan taqrîr beliau (An-Nabhani, 1990: 151).
3)
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan
ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak
lain memberikan konstribusi modal (mâl) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah
mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh
(Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib
al-mâl/rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang
bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum
(misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak
(misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak
ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama
(misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak
kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja.
Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990:
152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz (boleh) berdasarkan dalil as-Sunnah
(taqrîr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990:
153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak
pengelola (mudhârib/‘âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf.
Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan
pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam
mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak
menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya
(An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian,
jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).
4)
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath,
Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang
sama-sama memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya
C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah
tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya
(An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan
pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak
(An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang.
Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang
pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki
50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan
keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C
(pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan,
bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini
hakikatnya termasuk dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama
sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah
‘abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya
dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang
dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah),
bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah
yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar),
yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan.
Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja,
tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah
mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan
keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156).
5)
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah,
dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah
dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis
syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan
dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para
pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal
saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha
berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah
wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur
teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi
kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B
dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja
saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka
bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan
C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân
di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B
dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua
jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
E.
Mengakhiri Syirkah
Latar belakang yang menyebabkan berakhirnya
syirkah sebagaimana berikut:
1. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain.
2.
Salah satu pihak
kehilangan kecakapan untuk mengolah harta.
3.
Salah satu pihak meninggal
dunia.
4.
Modal para anggota syirkah
lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah.
F.
Praktik Syirkah
A datang ke B dan menyera
kan modal uang sebesar Rp.1000.000,00 untuk dijadikan modal kerja kepada
seseorang (untuk berdagang). Seandainya pengelola uang tersebut memperoleh
keuntungan dari usaha tadi maka keuntungan itu dibagi sesuai dengan kesepakatan
antara kedua belah pihak, misalnya 40% keuntungan untuk pemodal dan 60% untuk
pengelola atau dibagi secara sama, yang penting ada kesepakatan antara kedua
belah pihak dengan tidak saling merugikan, melainkan saling menguntungkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1)
Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut
istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang
atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan
2)
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr
(pengakuan) beliau terhadap syirkah dan juga didasarkan pada QS. Al
maaidah:2
3)
Rukun syirkah yang pokok
ada 3 (tiga) yaitu: ijab-kabul, ‘âqidâni, Obyek akad (mahal), disebut juga
ma’qûd ‘alayhi. Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu Obyek akadnya berupa
tasharruf, Obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah).
4) Terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu:(1) syirkah inân; (2)
syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah
(An-Nabhani, 1990: 148).
DAFTAR PUSTAKA
Kamus Al-Munawwir, hlm. 765
An-Nabhani, Taqiyuddin.
1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul
Ummah.
Antonio, M. Syafi’i. 1999.
Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia &
Tazkia Institute.
Al-Jaziri, Abdurrahman.
1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut:
Darul Fikr.
Al-Khayyath, Abdul Aziz.
1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i.
Beirut: Mua’ssasah ar-Risalah.
—————. 1989. Asy-Syarîkât
fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. Darus Salam.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
Siddiqi, M. Nejatullah.
1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and
Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani.
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Vogel, Frank E. &
Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and
Return. Denhag: Kluwer Law International.
[2] Taudhihul
Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601
[3] Al-Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Arba’ah, III/58
[4] Bidayatul
Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253
[5] An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî
fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
[6] Antonio, M. Syafi’i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama
dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
[7] Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî
asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua’ssasah
ar-Risalah.
[9] Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi
Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law).
Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar