Sabtu, 28 Februari 2015

KONSEP RAHN

KONSEP RAHN


 

 


Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqih Muamalah

Disusun Oleh:

Nama Kelompok                  : 1. Jonni Saputra Nasution
                                          2. Muhammad Mashuri Lubis
                                          3. Torkis
        Prodi                                      : Perbankan Syari’ah
Semester                                : IV (Empat) A

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BARUMUN RAYA
KABUPATEN PADANG LAWAS
T.A 2013 / 2014
KATA PENGANTAR

            Puji syukur kita curahkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kita banyak nikmat, nikmat yang tak terhingga banyaknya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Rahn” ini. Shalawat bertangkaikan salam kita junjung tinggikan ke Ruh Baginda Rasulullah SAW yang selalu kita harap-harapkan syafaatnya hingga di akhir kelak nanti.

Terima kasih penyusun ucapkan kepada Dosen Pembimbing yang telah mempercayakan dan memberikan arahan, bimbingan, dan juga waktu dalam penyusunan dalam makalah ini. Tak lupa pula penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua rekan-rekan Mahasiswa dan juga semua pihak-pihak yang telah ikut berpartisipasi membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan juga kesalahan. Baik dalam pengejaan dan juga kesalahan-kesalahan lain. Mengingat akan pengetahuan penyusun yang masih terbatas. Oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritikan, saran, dan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah ini dan makalah-makalah berikutnya yang akan datang.

                                                                                    Sibuhuan,        Mei   2014
                                                                                    Penyusun,



Kelompok

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A.    Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B.     Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN  ..................................................................................................... 2
A.    Pengertian Rahn........................................................................................................... 2
B.     Dasar Hukum Rahn...................................................................................................... 3
C.     Rukun dan Syarat Syahnya Rahn................................................................................ 4
D.    Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Rahn....................................................... 4
E.     Pemanfaatan dan Penjualan Barang Rahn................................................................... 5
F.      Perbedaan dan Persamaan Rahn dan Gadai................................................................. 5
G.    Bentuk-Bentuk Akad Rahn......................................................................................... 6
H.    Manfaat Ar-Rahn......................................................................................................... 6
I.       Risiko Ar-Rahn............................................................................................................ 6
J.       Ketentuan Syariah........................................................................................................ 7
K.    Pencatatan Akuntansi Rahn (Gadai)............................................................................ 7
L.     Bagi Pihak Yang Menggadaikan.................................................................................. 8
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 9
A.    Kesimpulan .................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 10
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
     Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
     Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
     Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.
        Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya.  Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.

B.         Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Pengertian Rahn
2.      Dasar Hukum Rahn
3.      Rukun dan Syarat Syahnya Rahn
4.      Pemanfaatan dan Penjualan Barang Rahn
5.      Perbedaan dan Persamaan Rahn dan Gadai
6.      Bentuk-Bentuk Akad Rahn
7.      Manfaat Ar-Rahn
8.      Risiko Ar-Rahn
9.      Ketentuan Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rahn
Dalam kitab Undang-Undang hukum perdata, pasal 1150 menyebutkan bahwa gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Dimana barang tersebut bergeraknya kepada pihak yang berpiutang oleh orang yang mempunyai hutang.[1]
Menurut bahasa Indonesia rahn adalah gadai dan dalam bahasa Arab dapat disebut al-Habsu. Secara etimologi rahn adalah tetap dan lama, sedang al-habsu adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.[2] Menurut Muhamad Syafii Antonio rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan tersebut bernilai ekonomis.[3]
Adapun pengertian rahn menurut ulama fiqih adalah sebagai berikut :[4]
  1. Ulama madzhab Syafi’I mendefinisikan rahn adalah : menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
  2. Ulama madzhab Hambali mendefinisikan rahn adalah : suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
  3. Ulama madzhab Maliki mendefinisikan rahn adalah : Sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
Sedangkan tujuan akad rah (gadai) adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada orang yang menggadaikan dalam pemberian utang. Dengan demikian, akad rahn (gadai) dapat disimpulkan bahwa rahn adalah menahan suatu barang yang bernilai milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterima, sehingga pihak yang meminjamkan utang (murtahin) memperoleh jaminan untuk mendapatkaan kembali utang yang diberikannya. Jadi akad rahn berfungsi memberikan ketenangan/kepercayaan kepada pemberi utang akan kembalinya utang yang dipinjamkan. Pada prinsipnya rahn merupakan salah satu akad tabarru’ yang tidak ada unsur komersial.
Dari pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya atau jaminan utang.
B.     Dasar Hukum Rahn

1.            Al-Qur’an
Surat al-Baqarah : 283 :
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (QS. 2 : 283).
2.            Hadist
Artinya : “Dari Aisyah ia berkata : bahwa Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan menggadaikan baju besinya”.[5]

3.            Ijtihad
Jumhur ulama dan umat Islam sepakat bahwa hukum rahn adalah boleh, baik pada waktu bepergian maupun tidak, dengan alasan kepada perbuatan Rasulullah terhadap orang Yahudi di Madinah. Adapun keadaan dalam pepergian sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an suarat Al-Baqarah : 283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian.
4.            Fatwa Dewan Syariah
Dalam rahan atau gadai syariah adalah fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Indonesia (DSN-MUI) adalah sebagai berikut :
a.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 25 DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn.
b.      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 26 DSN-MUI/III/2002, tentang Emas.
c.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 09 DSN-MUI/III/2002, tentang pembiayaan Ijarah.
d.      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 10 DSN-MUI/III/2002, tentang Wakalah.
e.       Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 43 DSN-MUI/III/2002, tentang ganti rugi.[6]
C.    Rukun dan Syarat Syahnya Rahn
Muhamad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan tentang rukun dan syarat syahnya rahn sebagai berikut :
  1. Ijab qabul (shigat)
  2. Orang yang bertransaksi (rahin dan murtahin)
  3. Adanya barang yang di gadaikan (marhun)
  4. Utang (marhun bih).[7]
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak atau tidak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang di sediakan. Akibat timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan. Atas dasar itulah dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua pihak.
Setelah melalui tahapan tersebut, pegadaian dan nasabah melakukan akad dengan keepakatan sebagai berikut :
  1. Jangka waktu penyimpanan barang danpinjaman ditetapkan selama maksimal empat bulan.
  2. Nasabah bersedia membayar jasa simpanan sebesar Rp 90 dari kelipatan taksiran Rp 10.000- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
  3. Membayar sdministrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada saat penciran uang pinjaman.
  4. Nasabah melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan.
  5. Mengangsur uang pinjaman dengan membayar dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditamban biaya administrasi.
  6. Atau nasabah hanya membayar jasa simpanannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjamannya.
D.    Pemanfaatan dan Penjualan Barang Rahn
Pemanfaatan rahn atas barang rahn :
1.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidk boleh memanfaatkan barang rahn tanpa seizing murtahin dan sebaliknya.
2.      Ulama Malikiyah berpendapat baha jika barang rahn sudah berada di tangan murtahin, rahin mempunyai hak memanfaatkan.[8]
3.      Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang rahn jika tidak menyebabkan berkurang, tanpa perlu minta izin.
Pemanfaatan murtahin atas barang rahn :
  1. Ulama Hanafiyah bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang rahn, sebab hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
  2. Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan murtahin memanfaatkan barang rahn jika diizinkan rahin.
  3. Ulama Hanabilah berpendapat, jika barang rahn berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan sekedar mengganti biaya walaupun tanpa izin rahin.
E.     Perbedaan dan Persamaan Rahn dan Gadai
Adapun persamaan rahn dengan gadai adalah sebagai berikut :
  1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
  2. Adanya agunan sebagai jaminan utang
  3. Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan tanpa izin
  4. Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai
  5. Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Sedangkan perbedaannya adalah sebagai berikut :
  1. Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa modal yang ditetapkan.
  2. Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta. Pada hukum perdata positif pejamin dengan harta tidak bergerak disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU No. 4 tahun 1996.
  3. Di Indonesia penguasaan atas barang gadai dibedakan menjadi gadai dan fidusa. Gdai adalah penguasaan atas barang gadai diberikan kepada penerima gadai dan hak milik atas barang gadai tetap pada pemberi gadai. Sedangkan fidusia adalah penguasaan atas barang gadai diberikan kepada pemberi gadai yang juga sebagai pemilik barang gadai tersebut, seperti diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan.
F.     Bentuk-Bentuk Akad Rahn
1.      Akad rahn yang telah dijelaskan diatas
2.      Akad wadiah ialah sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain untuk dijaga sebagai barang titipan.[9] Atau titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya.
3.      Akad ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[10]
G.    Manfaat Ar-Rahn
Bank yang menerapkan prinsip ar-rahn dapat mengambil manfaatnya :
1.      Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan banj tersebut.
2.      Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak kan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.
3.      Jika rahn diterapkan dalam mekanisme penggadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang kesulitan dalam dana terutama didaerah-daerah.[11]

H.    Risiko Ar-Rahn
Adapun risiko dalam rahn yang mungkin ada dan diterapkan sebagai produk adalah :
a.         Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
b.         Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.

I.       Ketentuan Syariah yaitu :

1.       Pelaku harus cakap hukum dan baligh
2.       Objek yang digadaikan ( marhun)
a.        Barang gadai marhun
·          Dapat dijual dan nilainya seimbang
·          Harus bernilai dan dapat dimanfaatkan
·          Harus jelas dan dapat ditentukan secara sepsifik
·          Tidak terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
b.       Ijab kabul adalah pernyataan dan ekspresi saling rida / rela diantara pihak-pihak pelaku akad yang dilakukan secara verbal, tertulis, melalui korrespodensi atau mengunakan cara-cara komunikasi modern.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam kitab Undang-Undang hukum perdata, pasal 1150 menyebutkan bahwa gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Dimana barang tersebut bergeraknya kepada pihak yang berpiutang oleh orang yang mempunyai hutang.[12]
Menurut bahasa Indonesia rahn adalah gadai dan dalam bahasa Arab dapat disebut al-Habsu. Secara etimologi rahn adalah tetap dan lama, sedang al-habsu adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
Muhamad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan tentang rukun dan syarat syahnya rahn sebagai berikut :
  1. Ijab qabul (shigat)
  2. Orang yang bertransaksi (rahin dan murtahin)
  3. Adanya barang yang di gadaikan (marhun)
  4. Utang (marhun bih).
Perbedaannya adalah sebagai berikut :
1.      Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa modal yang ditetapkan.
2.      Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta. Pada hukum perdata positif pejamin dengan harta tidak bergerak disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU No. 4 tahun 1996.
3.      Di Indonesia penguasaan atas barang gadai dibedakan menjadi gadai dan fidusa. Gdai adalah penguasaan atas barang gadai diberikan kepada penerima gadai dan hak milik atas barang gadai tetap pada pemberi gadai. Sedangkan fidusia adalah penguasaan atas barang gadai diberikan kepada pemberi gadai yang juga sebagai pemilik barang gadai tersebut, seperti diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan.


DAFTAR PUSTAKA
A. Karim Adiwarman, Bank Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2007, hlm. 97.
Shafinah dkk, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2007), hal, 16.
Abdul Ghafur Anshari, Gadai Syariah di Indonesia, (Jogjakarta: UGM Press, 2006), hal, 88.
M. Syafii Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Instute, 2000), hal. 182.
Kumpulan Hadits-Hadits Shahih, Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 345.
Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 8.
Muhamad Anwar, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hal. 56.
Sayyid Sabiq, al-Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1987), jilid 13, hal. 141.
Muhammad Syafi`i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,cet 1(jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 130-131


[1] Shafinah dkk, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2007), hal, 16.
[2] Ghafur Anshari Abdul, Gadai Syariah di Indonesia, (Jogjakarta: UGM Press, 2006), hal, 88.
[3] Syafii Antonio M. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Instute, 2000), hal. 182.
[4] Ibid, hlm. 2
[5] Kumpulan Hadits-Hadits Shahih, Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 345.
[6] Ali Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 8.
[7] Anwar Muhamad, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hal. 56.
[8] Sabiq Sayyid, al-Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1987), jilid 13, hal. 141.
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hal. 74.
[10] Ibid, hal. 7.
[11] Muhammad Syafi`i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,cet 1(jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 130-131
[12] Shafinah dkk, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta: Renaisan, 2007), hal, 16.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar