KONSEP RAHN
Makalah
Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqih
Muamalah
Disusun
Oleh:
Nama Kelompok : 1. Jonni Saputra Nasution
2. Muhammad
Mashuri Lubis
3. Torkis
Prodi : Perbankan Syari’ah
Semester : IV (Empat) A
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM BARUMUN RAYA
KABUPATEN
PADANG LAWAS
T.A
2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita curahkan ke hadirat
Allah SWT yang telah memberikan kita banyak nikmat, nikmat yang tak terhingga
banyaknya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Konsep Rahn” ini. Shalawat
bertangkaikan salam kita junjung tinggikan ke Ruh Baginda Rasulullah SAW yang
selalu kita harap-harapkan syafaatnya hingga di akhir kelak nanti.
Terima
kasih penyusun ucapkan kepada Dosen Pembimbing yang telah mempercayakan dan
memberikan arahan, bimbingan, dan juga waktu dalam penyusunan dalam makalah
ini. Tak lupa pula penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua rekan-rekan
Mahasiswa dan juga semua pihak-pihak yang telah ikut berpartisipasi membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun
menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan juga kesalahan.
Baik dalam pengejaan dan juga kesalahan-kesalahan lain. Mengingat akan
pengetahuan penyusun yang masih terbatas. Oleh karena itu penyusun sangat
mengharapkan kritikan, saran, dan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
memperbaiki makalah ini dan makalah-makalah berikutnya yang akan datang.
Sibuhuan, Mei 2014
Penyusun,
Kelompok
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar
Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan
Masalah ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................... 2
A. Pengertian
Rahn........................................................................................................... 2
B. Dasar
Hukum Rahn...................................................................................................... 3
C. Rukun dan
Syarat Syahnya Rahn................................................................................ 4
D. Hak dan
Kewajiban Penerima dan Pemberi Rahn....................................................... 4
E. Pemanfaatan
dan Penjualan Barang Rahn................................................................... 5
F. Perbedaan
dan Persamaan Rahn dan Gadai................................................................. 5
G. Bentuk-Bentuk
Akad Rahn......................................................................................... 6
H. Manfaat Ar-Rahn......................................................................................................... 6
I. Risiko Ar-Rahn............................................................................................................ 6
J. Ketentuan Syariah........................................................................................................ 7
K. Pencatatan Akuntansi Rahn (Gadai)............................................................................ 7
L. Bagi Pihak Yang Menggadaikan.................................................................................. 8
BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 9
A. Kesimpulan
.................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan
kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh
berinteraksi dengan lainnya untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong
menolong diantara mereka.
Karena itulah sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam
dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, diantaranya yang bersifat
interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya
harta dari satu tangan ketangan yang lainnya.
Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman
kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.
Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara orang
untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama
berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi
syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan
masalah tersebut senghingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai
asal-asalan tampa mengetahui dasar hukum gadai tersebut. Oleh karena itu kami
akan mencoba sedikit menjelaskan apa itu gadai dan hukumnya.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian Rahn
2. Dasar Hukum Rahn
3. Rukun dan Syarat Syahnya Rahn
4. Pemanfaatan dan Penjualan Barang Rahn
5. Perbedaan dan Persamaan Rahn dan Gadai
6. Bentuk-Bentuk Akad Rahn
7. Manfaat Ar-Rahn
8. Risiko Ar-Rahn
9. Ketentuan Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rahn
Dalam kitab Undang-Undang hukum perdata, pasal 1150
menyebutkan bahwa gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang
mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Dimana barang tersebut
bergeraknya kepada pihak yang berpiutang oleh orang yang mempunyai hutang.[1]
Menurut bahasa Indonesia rahn adalah gadai dan dalam bahasa
Arab dapat disebut al-Habsu. Secara etimologi rahn adalah tetap dan
lama, sedang al-habsu adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak
sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.[2]
Menurut Muhamad Syafii Antonio rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, barang yang ditahan tersebut
bernilai ekonomis.[3]
Adapun
pengertian rahn menurut ulama fiqih adalah sebagai berikut :[4]
- Ulama madzhab Syafi’I mendefinisikan rahn adalah : menjadikan suatu barang yang biasa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
- Ulama madzhab Hambali mendefinisikan rahn adalah : suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
- Ulama madzhab Maliki mendefinisikan rahn adalah : Sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).
Sedangkan tujuan akad rah (gadai) adalah untuk memberikan
jaminan pembayaran kembali kepada orang yang menggadaikan dalam pemberian
utang. Dengan demikian, akad rahn (gadai) dapat disimpulkan bahwa rahn adalah
menahan suatu barang yang bernilai milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterima, sehingga pihak yang meminjamkan utang (murtahin)
memperoleh jaminan untuk mendapatkaan kembali utang yang diberikannya. Jadi
akad rahn berfungsi memberikan ketenangan/kepercayaan kepada pemberi utang akan
kembalinya utang yang dipinjamkan. Pada prinsipnya rahn merupakan salah satu
akad tabarru’ yang tidak ada unsur komersial.
Dari pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa
pengertian rahn adalah menahan harta salah satu milik si peminjam sebagai
jaminan atas pinjaman yang diterimanya atau jaminan utang.
B.
Dasar
Hukum Rahn
1.
Al-Qur’an
Surat
al-Baqarah : 283 :
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan “. (QS. 2 : 283).
2.
Hadist
Artinya : “Dari Aisyah ia berkata : bahwa Rasulullah
pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan menggadaikan baju besinya”.[5]
3.
Ijtihad
Jumhur ulama dan umat Islam sepakat bahwa hukum rahn adalah
boleh, baik pada waktu bepergian maupun tidak, dengan alasan kepada perbuatan
Rasulullah terhadap orang Yahudi di Madinah. Adapun keadaan dalam pepergian
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an suarat Al-Baqarah : 283, karena melihat
kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian.
4.
Fatwa Dewan Syariah
Dalam rahan atau gadai syariah adalah fatwa Dewan Syariah
Nasional Majlis Indonesia (DSN-MUI) adalah sebagai berikut :
a.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 25 DSN-MUI/III/2002, tentang
Rahn.
b.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 26 DSN-MUI/III/2002, tentang
Emas.
c.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 09 DSN-MUI/III/2002, tentang
pembiayaan Ijarah.
d.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 10 DSN-MUI/III/2002, tentang
Wakalah.
e.
Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia No. 43 DSN-MUI/III/2002, tentang
ganti rugi.[6]
C.
Rukun
dan Syarat Syahnya Rahn
Muhamad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan tentang
rukun dan syarat syahnya rahn sebagai berikut :
- Ijab qabul (shigat)
- Orang yang bertransaksi (rahin dan murtahin)
- Adanya barang yang di gadaikan (marhun)
- Utang (marhun bih).[7]
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak atau
tidak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang di
sediakan. Akibat timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya
yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan. Atas dasar itulah dibenarkan
bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang
disepakati oleh kedua pihak.
Setelah melalui tahapan tersebut, pegadaian dan nasabah
melakukan akad dengan keepakatan sebagai berikut :
- Jangka waktu penyimpanan barang danpinjaman ditetapkan selama maksimal empat bulan.
- Nasabah bersedia membayar jasa simpanan sebesar Rp 90 dari kelipatan taksiran Rp 10.000- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
- Membayar sdministrasi yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada saat penciran uang pinjaman.
- Nasabah melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan.
- Mengangsur uang pinjaman dengan membayar dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditamban biaya administrasi.
- Atau nasabah hanya membayar jasa simpanannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjamannya.
D.
Pemanfaatan
dan Penjualan Barang Rahn
Pemanfaatan rahn atas barang rahn :
1.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rahin tidk boleh memanfaatkan barang rahn tanpa
seizing murtahin dan sebaliknya.
2.
Ulama
Malikiyah berpendapat baha jika barang rahn sudah berada di tangan murtahin,
rahin mempunyai hak memanfaatkan.[8]
3.
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang rahn
jika tidak menyebabkan berkurang, tanpa perlu minta izin.
Pemanfaatan
murtahin atas barang rahn :
- Ulama Hanafiyah bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang rahn, sebab hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya.
- Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan murtahin memanfaatkan barang rahn jika diizinkan rahin.
- Ulama Hanabilah berpendapat, jika barang rahn berupa hewan, murtahin boleh memanfaatkan sekedar mengganti biaya walaupun tanpa izin rahin.
E.
Perbedaan
dan Persamaan Rahn dan Gadai
Adapun persamaan rahn dengan gadai adalah sebagai berikut :
- Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
- Adanya agunan sebagai jaminan utang
- Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan tanpa izin
- Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai
- Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.
Sedangkan perbedaannya adalah sebagai berikut :
- Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa modal yang ditetapkan.
- Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda bergerak, sedangkan dalam hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta. Pada hukum perdata positif pejamin dengan harta tidak bergerak disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam UU No. 4 tahun 1996.
- Di Indonesia penguasaan atas barang gadai dibedakan menjadi gadai dan fidusa. Gdai adalah penguasaan atas barang gadai diberikan kepada penerima gadai dan hak milik atas barang gadai tetap pada pemberi gadai. Sedangkan fidusia adalah penguasaan atas barang gadai diberikan kepada pemberi gadai yang juga sebagai pemilik barang gadai tersebut, seperti diatur dalam UU No. 42 tahun 1999 tentang fidusia sebagai jaminan.
F. Bentuk-Bentuk Akad Rahn
1.
Akad
rahn yang telah dijelaskan diatas
2.
Akad
wadiah ialah sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain untuk dijaga
sebagai barang titipan.[9]
Atau titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan
kehendak pemiliknya.
3.
Akad
ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.[10]
G.
Manfaat Ar-Rahn
Bank yang menerapkan prinsip ar-rahn dapat mengambil manfaatnya :
1. Menjaga
kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan
yang diberikan banj tersebut.
2. Memberikan
keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak kan
hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset
atau barang (marhun) yang dipegang
oleh bank.
3. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme
penggadaian, sudah barang tentu akan sangat membantu saudara kita yang
kesulitan dalam dana terutama didaerah-daerah.[11]
H.
Risiko Ar-Rahn
Adapun risiko dalam rahn
yang mungkin ada dan diterapkan sebagai produk adalah :
a.
Risiko tak terbayarnya utang nasabah (wanprestasi).
b.
Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.
I.
Ketentuan Syariah yaitu :
1. Pelaku harus cakap hukum dan baligh
2. Objek yang digadaikan ( marhun)
a.
Barang
gadai marhun
·
Dapat
dijual dan nilainya seimbang
·
Harus
bernilai dan dapat dimanfaatkan
·
Harus
jelas dan dapat ditentukan secara sepsifik
·
Tidak
terkait dengan orang lain (dalam hal kepemilikan)
b. Ijab kabul adalah pernyataan dan ekspresi saling rida / rela diantara pihak-pihak pelaku akad
yang dilakukan
secara verbal, tertulis, melalui korrespodensi atau mengunakan cara-cara
komunikasi modern.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam kitab Undang-Undang hukum perdata, pasal 1150
menyebutkan bahwa gadai (rahn) adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang
mempunyai piutang atau suatu barang bergerak. Dimana barang tersebut
bergeraknya kepada pihak yang berpiutang oleh orang yang mempunyai hutang.[12]
Menurut bahasa Indonesia rahn adalah gadai dan dalam bahasa
Arab dapat disebut al-Habsu. Secara etimologi rahn adalah tetap dan
lama, sedang al-habsu adalah penahanan terhadap suatu barang dengan hak
sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.
Muhamad Anwar dalam buku Fiqh Islam menyebutkan tentang
rukun dan syarat syahnya rahn sebagai berikut :
- Ijab qabul (shigat)
- Orang yang bertransaksi (rahin dan murtahin)
- Adanya barang yang di gadaikan (marhun)
- Utang (marhun bih).
Perbedaannya adalah sebagai berikut :
1.
Rahn
dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong tanpa
mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip
tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atas sewa
modal yang ditetapkan.
2.
Dalam
hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda bergerak, sedangkan dalam
hukum Islam rahn berlaku pada seluruh harta. Pada hukum perdata positif pejamin
dengan harta tidak bergerak disebut dengan hak tanggungan seperti diatur dalam
UU No. 4 tahun 1996.
3.
Di
Indonesia penguasaan atas barang gadai dibedakan menjadi gadai dan fidusa. Gdai
adalah penguasaan atas barang gadai diberikan kepada penerima gadai dan hak
milik atas barang gadai tetap pada pemberi gadai. Sedangkan fidusia adalah
penguasaan atas barang gadai diberikan kepada pemberi gadai yang juga sebagai
pemilik barang gadai tersebut, seperti diatur dalam UU No. 42 tahun 1999
tentang fidusia sebagai jaminan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Karim Adiwarman,
Bank Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2007, hlm. 97.
Shafinah
dkk, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta: Renaisan,
2007), hal, 16.
Abdul
Ghafur Anshari, Gadai Syariah di Indonesia, (Jogjakarta: UGM Press,
2006), hal, 88.
M. Syafii
Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Instute,
2000), hal. 182.
Kumpulan
Hadits-Hadits Shahih, Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Bulan Bintang,
1990), hal. 345.
Zainuddin
Ali, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 8.
Muhamad
Anwar, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hal. 56.
Sayyid
Sabiq, al-Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1987), jilid 13, hal.
141.
Muhammad Syafi`i
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik,cet 1(jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 130-131
[1]
Shafinah dkk, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta:
Renaisan, 2007), hal, 16.
[2]
Ghafur Anshari Abdul, Gadai Syariah di Indonesia, (Jogjakarta: UGM
Press, 2006), hal, 88.
[3]
Syafii Antonio M. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia
Instute, 2000), hal. 182.
[4]
Ibid, hlm. 2
[5]
Kumpulan Hadits-Hadits Shahih, Bukhari dan Muslim, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), hal. 345.
[6]
Ali Zainuddin, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hal. 8.
[7]
Anwar Muhamad, Fiqh Islam, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), hal. 56.
[8]
Sabiq Sayyid, al-Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Dar al-Fikr, 1987), jilid
13, hal. 141.
[9]
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hal. 74.
[10]
Ibid, hal. 7.
[11]
Muhammad Syafi`i
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke
Praktik,cet 1(jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 130-131
[12]
Shafinah dkk, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah, (Jakarta:
Renaisan, 2007), hal, 16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar