Senin, 07 Oktober 2013

Munasabah Al-Qur'an

BAB I
PENDAHULUAN


I.        PENDAHULUAN

Sebagai mana halnya pengetahuan tentang asbab al nuzul yang memiliki pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan Al-Qur’an, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat dengan ayat atau surat dengan surat mempunyai arti pnting dalam memahami makna ayat Al-Qur’an serta membantu dalam proses mentakwilkan dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama’ menghususkan perhatian untuk menulis kitab mengenal masalah itu.

Bahkan menurut Masyfuk Zuhudi, ilmu munasabah berperan ”menggantikan” ilmu asbab al nuzul, apabila seseorang tidak mengetahui sebab turunya suatu ayat, teapi mengetahui korelasi ayat dengan ayat yang lain.


II.     RUMUSAN MASALAH

a.       Apa Pengertian Munasabah?

b.      Apa Macam-macam Munasabah?

c.       Apa Kegunaan/fungsi Munasabah?

d.      Urgensi dan kegunaan mempelajari munasabah?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Munasabah

Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah (keserupaan)[1][1], dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara  etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.

Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah satunya, memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal lafal khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul, kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).[2][2]

Manna Al-Qathan dalam mabahis fi ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Menurut M Hasbi Ash Shiddieq membatasi pengertian munasabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.

Dalam pengertian istilah, munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat Al-Qur’an atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi, sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan Al-Qur’an sebagai wahyu. [3][3]

B.     Macam-macam Munasabah

Menurut Nashr Hamid Abu Zaid hubungan (munasabah) Al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu

1.       Munasabah antar surat

Dalam hal ini Nashr Hamid telah membagi sedikitnya 4 bagian:

a.       Hubungan stilistika-kebahasaan.contohnya adalah hubungan khusus antara surat al-fatihah dengan surat al-baqarah. Termasuk dalam kategori ini adalah munasabah antar surat pendek. Hubungan antara surat al-fiil dengan surat al-Quraisy adalah hubungan kebahasaan yang mengubah keduanya menjadi 1 surat apabila kita menerima pandangan ulama klasik terhadap kedua surat tersebut.

b.      Hubungan antara “dalil” dengan “keraguan akan dalil” atau disebut juga dengan hubungan ta’wil. Contohnya adalah hubungan antar surat al-Baqarah dengan surat Ali Imron. Urutan surat dalam mushaf didasarkan pada asas yang didasarkan pada asas mendahulukan yang universal yang dibentuk oleh surat al-Fatihah kemudian surat al-Baqarah yang bertugas menjelaskan hukum-hukum dan secara khusus surat ali Imron memuat jawaban atas keragu-raguan musuh akan hukum-hukum tersebut. Surat An-Nisa dan al-Maidah memiliki kedudukan sebagai perincian legislasi bagi ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan sosial dan ekonomi, kemudian dua surat berikutnya yaitu al A’raf menjelaskan tujuan tujuan dan sasaran-sasaran syari’at dari rincian hukum tersebut

c.       Hubungan ritmik yang didasarkan pada ritme “fashilah”. Contohnya adalah hubungan antara surat al-Lahab dengan surat al-Ikhlas.

d.      Hubungan antar surat pendek adalah hubungan kekontrasan, yaitu tipe yang dapat ditemukan antar surat al-Maun dengan surat al-Kautsar disatu sisi dan antara surat ad-Duha dan al-Syarh disisi lain.

2.       Munasabah antar ayat
             Pada dasarnya, konsep kesatuan teks (wihdah al-nash) merupakan konsep yang merujuk pada persoalan I’jaz, yaitu sebuah persoalan yang dalam skala besar mengacu kepada perbedaan antara pembicara teks (Allah) dengan pembicara- pembicara selain-Nya. Oleh karena itu, para penganjur ilmu munasabah menghindari pembicaraan tentang munasabah antar ayat, yang aspek keterkaitan antar ayatnya sangat jelas, seperti:”Apabila yangt kedua terhadap yang pertama merupakan bentuk penegasan, penafsiran, atau bantahan dan tekanan”.[4][4]

            Dalam hal ini munasabah tidak mengkaji hubungan-hubungan eksternal (alaqah khorijiah), dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti diluar teks (kharij al-Nas). Tekslah yang menegaskan norma-norma hubungan-hubunganya atas dasar strukturnya yang berifat kebahasaan, rasional dan indrawi. Ini tidak berarti bahwa hubungan-hubungan  tersebut merupakan hubungan-hubungan objektif (maudhu’iyah) yang terpisah dari gerak akal pembaca atau mufasir, tetapi ia merupakan hubungan yangg muncul dari dealekstika antara pembaca dan teks dalam proses pembacaan.

Sedangkan magam-macam munasabah menurut Abdul Jalal yang ditinjau dari sifatnya, munasabah dibagi menjadi dua bagian, yaitu

1.       Zhahir al-Irtibath (persesuai nyata)

Munasabah ini terjadi karena bagian al-Qur’an yang satu dengan yang lainya tampak jelas dan kuat disebabkan kuatnya kaitan kalimat yang satu dengan yang lain. Deretan beberapa ayat yang menerangkan sesuatu materi itu terkadang, ayat yang satu berupa penguat, penafsir, penyambut,penjelas, pengecualian atau pembatas dengan ayat yang lain, sehingga semua ayat itu tampak sebagai satu kesatuan yang utuh.

2.       Khafiy al-Irtibath (persesuaian yang nyata)

Munasabah ini terjadi karena antara bagian-bagian al-Qur’an tidak ada kesesuaian, sehingga tidak tampak adanya hubungan diantara keduanya, bahkan tampak masing-masing ayat atau surat berdiri sendiri, baik karena ayat-ayat yang dihubungkan dengan ayat lain maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.[5][5]

C.    Kegunaan/Fungsi Munasabah

1.       Dari sisi balagah, korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an, dan bila dipenggal maka keserasian, kehalusan dan keindahan ayat akan hilang. Untuk itu imam Ar-Razi berkata,”kebanyakan kehalusan dan keindahan al-Qur’an dibuang begitu saja, yakni dalam tertib hubungan dan susunanya (al-Munasabah)

2.       Ia memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat, sebab penafsiran Al-Qur’an dengan ragamnya (Bil Ma’tsur dan Bir- Ra’yi) jelas membutuhkan pemahaman korelasi (munasabah) antara satu ayat dengan ayat yang lain. Akan fatal akibatnya bila penafsiran ayat dipenggal-penggal sehingga menghilangkan keutuhan makna.[6][6]

D.    Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Munasabah.

Mengenai hubungan antara suatu ayat / surah dengan ayat / surah lain (sebelum/sesudahnya), tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab nuzulul ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surah itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat ayat-ayat dan surah-surah yang bersangkutan.
Ilmu ini dapat berpesan mengganti Ilmu Asbabun Nuzul, apabila kita tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi kita bisa mengetahui adanya relevansi ayat itu dengan ayat lainnya. Sehingga dikalangan ulama timbul masalah : mana yang didahulukan antara mengetahui sebab turunnya ayat dengan mengetahui hubungan antara ayat itu dengan ayat lain.

Ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat / surah selalu ada relevansinya dengan ayat / surah lain. Adapula yang berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surah-surah ada hubungannya satu sama lain. Di samping itu, ada yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tetapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surah dengan surah lain.
Segolongan dari antara para ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat Al-Quran itu satu dengan yang lain tidak ada hubungannya. Tetapi segolongan dari antara para ulama Islam ada yang berpendapat, bahwa ayat-ayat Al-Quran itu satu dengan yang lain ada hubungannya.
Golongan yang pertama beralasan : oleh karena ayat-ayat Al-Quran itu di dalam surah-surahnya tidak dijadikan berbab-bab dan berpasal-pasal dan pada nampaknya memang tidak teratur, bahkan kadang didapati satu ayat yang berisi perintah dengan satu ayat lain yang berisi larangan, yang di antaranya sudah diselingi ayat lain yang berisi qisshah, maka tidak mungkin jadi ayat-ayat itu satu dengan yang lain ada hubungannya. Selanjutnya dikatakan pula oleh mereka : Bahwa perbuatan orang yang memperhubungkan satu ayat dengan ayat yang lain itu, adalah suatu perbuatan yang memberatkan diri sendiri.

Golongan yang kedua beralasan : oleh karena letak tiap-tiap ayat dan surah Al-Quran itu dari sejak diturunkan sudah diatur dan ditertibkan oleh Allah dan Nabi SAW, tinggal memerintahkan kepada para penulisnya pada waktu ayat-ayat itu diturunkan tentang letak dan tempatnya tiap-tiap ayat dan surah, maka sudah barang tentu pimpinan yang sedemikian itu mengandung arti, bahwa tiap-tiap ayat di dalam Al-Quran itu satu dengan lainnya ada hubungannya. Selanjutnya oleh mereka dikatakan : Bahwa sekalipun pada lahirnya ayat-ayat Al-Quran itu tidak teratur dan tidak tersusun, tetapi dalam hakikatnya sangat teratur dan tersusun rapi.
Kedua pendapat itu baiknya kita pikirkan bersama, karena kedua-duanya adalah dari buah pikiran mereka masing-masing. Hanya kami berpendapat dan berpendirian, bahwa kemungkinan besar ayat-ayat yang tertulis di dalam tiap-tiap surah Al-Quran itu ada hubungannya satu dengan yang lain.

1.       Muhammad Izah Daruzah menyatakan,
Bahwa semula orang mengira tidak ada hubungan antara satu ayat / surah dengan ayat / surah lain. Tetapi sebenarnya ternyata, bahwa sebagian besar ayat-ayat dan surah-surah itu ada hubungan antara satu dengan yang lain.
Untuk jelasnya kami ambilkan contoh-contoh surah-surah yang ada hubungannya satu sama lain, ialah surah al-Fath, ada hubungannya dengan surah sebelumnya ( surah al-Qital / Muhammad ) dan juga dengan surah sesudahnya ( al-Hujarat ).

2.       Dr. Shubi al-Shalih dalam kitabnya :

Mengemukakan bahwa mencari hubungan antara satu surah dengan surah lainnya adalah sesuatu yang sulit dan sesuatu yang dicari-cari tanpa ada pedoman / petunjuk, kecuali hanya didasarkan atas tertib surah-surah yang tauqifi itu. Padahal tertib surah-surah yang tauqifi tidaklah berarti harus ada hubungan antara ayat-ayat yang tauqifi itupun tidak berarti harus ada relevansi antara ayat-ayat al-Quran itu, apabila ayat-ayat itu mempunyai sebab-sebab nuzul Quran itu, apabila ayat-ayat itu mempunyai sebab-sebab nuzul Quran yang berbeda-beda. Hanya biasanya, tiap surat itu mempunyai maudhu ( topik ) yang menonjol dan bersifat umum, yang kemudian di atas maudlu itu tersusun bagian-bagian surat itu, yang ada hubungannya antara semua bagiannya itu. Tetapi itu tidaklah berarti ada kesatuan atau persamaan maudlu pada semua surah al-Quran.

Kriteria / ukuran untuk menetapkan ada / tidaknya munasabah / relevansi antara ayat-ayat dan antara surah-surah adalah tamatsul atau tasyabuh ( persamaan / persesuaian ) antara maudlu-maudlunya. Maka apabila ayat-ayat / surah-surah itu mengenai hal-hal yang ada kesamaan / kesatuan yang berhubungan ayat-ayat permulaannya dengan ayat-ayat / surah-surah secara logis dan dapat diterima. Tetapi apabila mengenai ayat-ayat / surah-surah yang berbeda-beda sebab turunnya dan tentang hal-hal yang tidak sama atau serupa, maka sudah tentu tidak ada munasabah / relevansi antara ayat-ayat / surah-surah itu.
Dengan kriteria tersebut, maka dapat dibayangkan bahwa letak / titik persesuaian ( munasabah / relevansi ) antara ayat-ayat dan antara surat-surat itu kadang-kadang tampak jelas dan kadang-kadang tidak nampak dan bahwa jelasnya letak munasabah antara ayat-ayat itu sedikit kemungkinannya, sebaliknya terlihatnya dengan jelas letak munasabah antara surat-surat itu jarang sekali kemungkinannya.


BAB III
KESIMPULAN

A.    Kesimpulan

Mengkaji munasabah al-Quran dapat dianggap penting, karena akan diperoleh faedah memperoleh pemahaman yang lebih sempurna dari teks al-Quran. Karena persoalan munasabah termasuk dalam kategori ijtihad, maka kaidah-kaidahnya pun bersifat ijtihadi. Namun secara umum mereka sepakat bahwa kaidah Ilmu Mantiq serta Ilmu Bahasa mutlak diperlukan. Dengan demikian analisis filosofis serta analisis bahasa menjadi penting dalam metodologi penelitian munasabah al-Quran. Munasabah al-Quran dengan demikian dapat pula menjadi salah satu cabang Ilmu Al-Quran yang penting dan strategis. Ilmu Munasabah ini sekaligus menjadi sebuah perangkat yang melengkapi metodologi pemahaman al-Quran secara konprehensif.
Tentang ini para ulama yang ahli Ilmu Bahasa Arab dan bahasa Al-Quran tidak kurang-kurang yang telah mengupas dan menjelaskannya. Dan Syekh Muhammad Abduh serta Said Muhammad Rasyid Ridha dalam kitab tafsirnya Al-Manar tidak sedikit menjelaskan tentang hubungan ayat satu dengan ayat lainnya dalam menafsiri dan mengupas ayat-ayat yang ditafsiri.

B.     Saran

Dengan melihat secara seksama mengenai isi dari makalah ini, penulis berharap kiranya makalah ini dapat menjadi salah satu acuan yang nantinya dapat menambah pengetahuan tentang kajian munasabah yang terdapat dapat dalam Ulumul Qur`an, selain itu untuk dapat dijadikan sebagai salah satu referensi para pembaca untuk keperluan yang bertalian dengan Ilmu Munasabah itu sendiri.
Munasabah berasal dari bahasa arab dari asal kata nasaba-yunasibu-munasabahan yang berarti musyakalah dan muqarabah. Lebih jelas mengenai pengertian munasabah secara  etimologis disebutkan dalam kitab Al burhan fi ulumil Qur”an bahwa munasabah merupakan ilmu yag mulia yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.



BAB IV
PENUTUP

Demikian pembahasan makalah yang telah kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Mudah-mudahan apa yang telah kita diskusikan bisa menambah ilmu dan wawasan kita dan juga menambah rasa puji syukur kita kepada Allah SWT yang telah memberi kita akal fikiran apa yang telah diciptakan-Nya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya.





















DAFTAR PUSTAKA


·         Chirzin, Muhammad. 1998. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Jakarta : Dana Bhakti Prima Yasa

·         Ikhwan, Muhammad Nor. 2008. Studi ilmu-ilmu Al-Qur’an. Semarang : RaSAIL

·         Sutiyana dan Karman, M. 2002. Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Islamika

·         Syadali, Ahmad dan Rafi’I, Ahmad. 1997. Ulumul Qur’an . Bandung : Pustaka setia

·         Abd, Maman Djalil, Alumul Qur`an 1, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997).

·         al-Hafizh , Ashim W, Kamus Ilmu Al-Quran, Pustaka Amzah, 2005.

·         Anwar, Rosihan Ulum al-Qur`an, (Jakarta: Pustaka Setia, 2008).

·         Departemen Agama RI, al-Qur`an dan terjemahnya, (Jakarta: Pustaka Setia, 2009).

·         Gazali, Ulumul Quran. (Banjarmasin: Indra Media, 2003).

·          http://assaadah.com/?pilih=lihat&id=…, diakses 14 juni 2010

·          http://mulkys.blogspot.com/, diakses 14 juni 2010.

·          http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/0…, diakses pada tanggal 14 juni 2010.

·         Khalil, Moenawar. Al-Quran Dari Masa Ke Masa. ( Solo : Ramadhani, 1985 ).

·         Shihab, M. Quraisy Sejarah dan Ulumul Quran. ( jakarta : Pustaka Firdaus, 1999 )

·         Y.P. Penterjemah al-Quran. Al-Quran dan Terjemahnya. ( Jakarta : Departemen Agama RI, 1979 / 1980 )

·         Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Quran. ( Surabaya : Bina Ilmu, 1982 )


[1][1] Badr al-Din al-Zarkasyi, al Burhany fii ulum Al-Qur’an, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al_Nasyir, 1972), hal. 35-36.
[2][2] Ibid
[3][3] Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir, (Jakarta:Bulan Bintang, 1965), hal. 95.
[4][4] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasat Fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut:al-Markaz al-Tsaqafiy al-‘Arabi,1998), hal. 159
[5][5] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, (Cet. Ke-1:Surabaya:Dunia Ilmu, 1998), hal. 155-157
[6][6] Az Zarkasy, Al Buhan fi Ulumil Qur’an, Juz 1(Mesir: Maktabah Tijariyah,  Al-Kubra, 1998), hal 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar