Senin, 07 Oktober 2013

Sejarah Munculnya Aliran Mu'tazilah

BAB I
SEJARAH KEMUNCULAN MU’TAZILAH

            Berbicara tentang perpecahan tentang umat islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan perbedaan dengan munculnya Khowarij dan syi’ah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syi’ar akal dan kebebasan berfikir. Satu syi’ar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk kepemikiran kelompok ini. Akhirnya terpecalah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Akibat dari itu bermunculanlah kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah SWT sehingga banyak ajaran islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal menurut akal prasangka mereka.
            Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangnkan oleh para kolonialis orang Kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
            Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah. Modernisasi pemikiran. Westernasi dan Sekularisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini.
1. Defenisi Mu’tazilah :
  1. Secara Etimologi
Mu’tazilah atau I’tizilah adalah kata yang dalam bahasa arab menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keputusan.
  1. Secara Terminology
Para ulama banyak mendefinisikan kalimat ini, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang menyelisihi pendapat umat islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amru bin Ubaid pada zaman AL Hasan Al Basyri”[1]. Suatu persi menyebutkan munculnya Mu’tazilah adalah dari kisah Hasan Al-Bashri(21-110H). Yang berbeda pendapat dengan muridnya yang bernama Washil bin Atha’ (80-131) pada masalah pelaku dosa besar. Maka dengan I’tazalnya dari majelis Hasan Al-Bashri dinamakan Washil dan orang-orang yang sepaham dengannya dengan Mu’tazilah. Mereka begitu hebat melobi dan memutar kata sehingga bisa memegang pemerintahan Islam selama kurang lebih dari dua ratus tahun. Sebagaimana berselisih faham Hasan Bashri dengan muridnya berselisih pula Abu Hasan Al-asy’ari (260-330) dengan gurunya yang bernama Abu Ali Al-juba’I (235-303) pada masalah sifat Allah SWT yaitu wajibnya Allah berbuat baik ”[2].
Kemudian di kitab lain kita menemukan juga perpotongan-perpotongan kalimat yang bersentuhan dengan awal mula munculnya Mu’tazilah. “asal mula Mu’tazilah adalah ketika Wasil bin ‘Atha’ Al-Ghazzlah (80-130) memisahkan diri dari majelis Hasan Al-Bashri. Sejak itu dinamakan Wasil dan yang sepaham dengan dia dengan sebutan Mu’tazilah, dan mereka dinamakan juga dengan ‘ashabul ‘Adl dan Tauhid’, dan dan diberi gelar dengan Al-Qodariyah dan AL-‘Adaliyah’[3]. Suatu persi mengatakan bahwa sebab munculnya Mu’tazilah adalah karena berpisahnya Wasil bin Atho dan Amr bin Ubaid dari majlis dan Halaqohnya Al Hasan Al Bashri. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashri, lalu berkata “wahai Imam, telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah Al wa’idiyah Khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu  (merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaimana tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah Murjiah umat ini,  maka bagaiman engkau memberikan hukuman bagi kami dalam hal itu secara I’tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Wasil bin Atha: “saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu’min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia didalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzila baina manzilatain), tidak mu’min dan tidak kafir”. Kemudian dia berdiri dan memisahkan  kesatu tiang dari tiang-tiang mesjid, lalu menjelaskan jawbanya kepada murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan: “telah berpisah (I’tizal) dari kita wasil”, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Wasil, maka kedua orang ini beserta pengikut lainnya dinamakan Mu’tazilah”.











BAB II
PERKEMBANGAN MU’TAZILAH

            Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat islam. Karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofi itu. Alasan lain karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak teguh berpegang pada sunah Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
            Kelompok ini baru mendapat dukungan yang luas pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun penguasa Abasyah (198-218 H/813-833). Kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin kokoh setelah Al-Ma’mun menjadikannya sebagai mahzab resmi Negara. Hal ini disebabkan karena Al-Ma’mun sejak kecil di didik dalam tradisi Yunani yang gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Karena mendapat dukungan dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah memaksa ajarannya kepada kelompok lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan pendapat mereka bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT. Kalam adalah terdiri dari suara, tulisan mushaf dan dapat ditiru bunyinya. Al-Qur’an itu makhluk dalam arti ciptaan Tuhan. Karena diciptakan maka itu sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika dikatakan Al-Qur’an itu qadim maka kesimpulannya ada yang qadim selain Allah SWT dan itu musyrik hukumnya. Khalifah Al-Ma’mun menginstruksi agar di adakan mengujian terhadap aparat pelaksanaannya (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham ini. Dalam pelaksanaan bukan hanya aparat pemerintah tetapi juga para tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadi korban, salah satunya adalah Imam Hambali. Peristiwa ini berakhir pada saat kepemimpinan Al-Mutawakkil (memrintah 232-247H/842-847M).





















BAB III
Pandangan Mu’tazilah Terhadap Al-Qur’an dan Hadist
           
Pandanga Mu’tazilah tentang Al-Qur’an secara umum memang berbeda dengan mayoritas para Ulama, mulai dari cara mereka beradab dengan Al-Qur’an dan mengingkari bebarapa nash yang begitu nyata dalam Al-Qur’an. Seperti apa yang dipahami Mu’tazilah Nazomiyah bahwa makhluk yang terdiri dari manusia, biantang, tumbuhan, langit dan bumi diciptakan oleh Tuhan dengan serentak, padahal sudah ada dibicarakan dalam Al-Qur’an bahwa semua itu bertahap. Kemudian jumhur Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. Setelah menyulap khalifah Al-Ma’mun, Mu’tazilah semakin aktif menjalankan aksinya, apalagi setelah sang Khalifah mengumumkan faham Mu’tazilah sebagai ideology negara dan memaksa masyarakat supaya membenarkan apa yang sebetulnya berlawanan dengan keyakinan mereka. Disinalah kita baca seorang ulama-ulama Ahlissunnah mengalami penekanan, boikot bahkan penyiksaan. Sampai kurun waktu 200 tahun. Sampai akhirnya Kholifah Al-Mutawakil (218 H) naik sebagai pemegang estapet kepemimpinan tertinggi dalam islam dan dia mengumumkan kecondongannya kepada Ahlissunnah wal jama’ah, setelah itu Mu’tazilah terkesan lemah, loyo tanpa daya laksana ayam kehilangan induk, bahkan setelah itu sampai sekarang mereka tidak lagi bisa bangkit tegak seperti dulu[4]. Banyak lagi disana peningkatan terhadap nash Al-Qur’an seperti pandapat mereka bahwa orang-orang kafir, musrik, yahudi, nasrani akan mengalami siksaan yang kekal dalam neraka, yang paling tragis sekali adalah ketika mereka mngatakan bahwa manusia pasti sanggup membuat ayat yang serupa dengan Al-Qur’an baik dari segi fasohah, balagoh, dan I’jaznya. Padahal sudah jelas-jelas di ungkapkan dalam Al-qur’an bahwa sekali pun manusia dan jin bekerja sama untuk meniru Al-Qur’an mereka tidak akan sanggup.
            Kemudian Mu’tazilah memandang sunnah/hadist tak jauh beda dengan pandangan mereka terhadap Al-Qur’an, bahwa bagaimana pun juga fikiran yang didahulukan. Seperti halnya periwayat dalam ilmu Hadist ‘mereka tidak menerima Hadist yang bersumber dari Muhaddis-muhaddis bersebrangan pemikirannya dengan mereka demikian pula para Muhaddis tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh Mu’tazilah’[5]. Akan tetapi “para ulama berbeda pendapat tentang mauqif Mu’tazilah dalam pembagian Hadist kepada Mutawatir dan Ahad, sebagaimana Ahlissunnah membagi Hadist kepada dua bagian itu dan menerima keduanya menjadi Hujjah. Suatu riwayat yang bersumber dari Hasan Al-Bashri berkata: Abu Ali Al-Jubba’I dan satu jama’a dari Ulama Mu’tazilah tidak membolehkan beramal dengan Hadist Ahad yang tsiqah dari Nabi SAW, sama ada ia dari Ahlussunnah, Syi’ah, Khowarij, dan Qodariyah, namun setelah abat pertama Hijriyah Mu’tazilah menyalahi Ijma’ Ulama Islam tadi”[6].


BAB IV
PANDANGAN JUMHUR ULAMA TERHADAP FAHAM MU’TAZILAH

            Pandangan mayoritas Ulama kepada Mu’tazilah tergantung kadar ke ekstriman kelompok Mu’yazilah itu sendiri namun secara umum memang mayoritas Ulama tidak setuju dengan firqah ini. Ada beberapa pertanyaan Ulama yang bisa kita baca seperti: “suatu saat Muhammad bin Hasan mengatakan” siapa yang solat dibelakang Mu’tazilah maka hendaklah ia mengulangi solatnya” dan ketika Abu Yusuf ditanya tentang pandangannya kepada Mu’tazilah beliau menjawab” mereka adalah zanahdiqoh/kafir zinqid”[7] dan dilain pernyataan kita  baca ada ungkapan yang lebih keras dari ini seperti: ‘Ahlussannah berkomentar tentang “Al-Futi” dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh mereka tidak akan dikenakan diat dan kiparat bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan taqorrub kepada Allah SWT’[8]. Dari uraian dan kutipan diatas dapat kita pahami bahwa pemikiran mu’tazilah ini tidak diterima dimayoritas ulama.

BAB V
TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH

            Ada banyak tokoh dan Ulama Mu’tazilah yang bertebaran didaulah Arabiyah khususnya seperti yang dikutip dari sebuah artikel: “Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok besar saat menjalani misinya dengan sponsor daulah Abbasiyah, yaitu:
1.        Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Wasil bin Atho’, Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzhom, Asy Syahaam, Al jaahidz, Abu Ali Aljubaa’I, Abu Hasyim Al Jubaa’I dan yang lain-lainnya.
2.        Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, Ja’far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al-Balkhy Al-Ka’by dan yang lain-lainnya”[9]







BAB VI
DOKTRIN MU’TAZILAH

Doktrin Mu’tazilah dikenal dalam 5 ajaran pokok atau Al-Uhsul Al-khomsyah. Menurut pemuka-pemuka Mu’tazilah diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar yakni At-Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’ad, Al-Manzilah bain Al-Manzilatain dan Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy’an Al-Munkar.
1.        At-Tauhid
Ajaran pertama mu’tazilah ini artinya meyakini sepenuhnya hanya Allah SWT Yang Maha Esa. Dia merupakan Zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Mereka menganggap konsep tauhid ini yang paling murni sehingga mereka senang disebut Ahl At-Tauhid (pembela Tauhid). Dalam mempertahankan keesaan Allah SWT, mereka menafikkan segala sifat, sehingga mereka sering disebut Nafy As-Sifat. Yang mereka maksud dengan penidiaan sifat yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri diluar Zat-Nya, karena itu akan membawa pada yang qadim selain Tuhan. Kaum mu’tazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian sesuatu yang melekat pada Zat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha Mengetahui maka itu bukan sifat-Nya tapi Zat-Nya.
2.        Al-Adl (keadilan Tuhan)
Paham keadilan Tuhan membawa pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim pada hamba-Nya. Dari sini tumbuh ajaran As-Salah wa Al-Salah. Maksudnya Tuhan wajib berbuat baik pada manusia bahkan yang terbaik diantaaranya Tuhan tidak membebani beban yang berat pada manusia. Tuhan wajib mengirim Rasul-rasulnya dan Nabi-nabinya untuk menuntun kehidupan manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perrbuatanya.
3.        Al-Wa’ad wa Al-Wa’id (janji dan ancaman)
Menurut mereka Tuhan wajib menepati janjinya memasukan orang mukmin kedalam surga dan menepati ancaman-Nya memasukan orang kafir ke dalam neraka meskipun Tuhan bisa memasukan orang yang berdosa besar kedalam surga dan menjerumuskan orang yang mukmin kedalam neraka, namun mustahil bagi-Nya karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Jika manusia memilih beriman dan berbuat baik maka dijanjikan masuk surga dan manusia yang  mungkar dan berbuat dosa Tuhan mengancamnya ke neraka.
4.        Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi)
Paham ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir dikalangan Mu’tazilah. Paham ini timbul setelah terjadi peristiwa antara Wasil bin ‘atha’ dengan gurunya Hasan Al-bahsri di Basra. Bagi Mu’tazilah orang yang berbuat dosa besar itu tidak mukmin dan juga tidak kafir, melainkan berada dikeduanya. Menempati antara mukmin dan kafir yang disebut fasik. Jika orang-orang yang mendapat predikat fasik tidak melakukan taubat sebelum meninggal maka dia diancam kedalam neraka dan kekal didalamnya, hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan dibandingkan siksaan orang kafir.
  1. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy’aan Al-munkar (perintah agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemungkaran)
Dalam prinsip mu’tazilah, setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang baik dan menjauhi segala yang mungkar. Berpegang pada ajaran ini, kaum mu’tazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan pada ajaran golongan lain yang dikenal dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksa pendapatnya terhadap Al-Qur’an itu adalah ciptaan Tuhan. Mereka yang menentang pendapat ini wajib dihukum. Demikian cara mereka menegakkan Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-munkar.














BAB VII
SEKTE-SEKTE MU’TAZILAH
Dan ada banyak kelompok-kelompok  kecil dalam tubuh Mu’tazilah yang semua berdasarkan dari perbedaan pemikiran dalam setiap tokohnya, yaitu:
1.      Al-Washiliyah
      Mereka adalah pengikut Abu Hudzaifah Wasil bin Atho’ Al-Ghazzalah. Dia murid Imam Hasan Al-Bashri dan keduanya hidup di zaman Khalifah Abdullah bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik. Golongan ini bersebrangan dengan Ahlussunnah wal jama’ah pada empat perkara:
a.       Mereka menafikan empat macam dari sifat Allah SWT yaitu: Al-Ilmu, Al-Qudroh, Al-Irodah, Al-Hayah. Pemikiran seperti ini mereka dapatkan setelah banyak mutola’ah dan mendalami ilmu filsafah Yunaniyah. Ulama salaf tentu tidak setuju dengan pendapat mereka ini karena memang sifat-sifat diatas ada dalam alquran.
b.      Pendapat mereka tentang “Qodar” Allah SWT. Dalam hal ini mereka mengikuti perkataan ‘Ma’bad Al-Jahni’[10]. Dan Ghalian Ad-Dimisqi[11]. Wasil bin Atha’ sendiri pernah mengungkapkan bahwa Allah SWT adalah zat yang bijaksana dan Maha Tahu dan tidak boleh disandarkan kepada-Nya perbuatan yang tidak baik dan tidak mungkin Ia menghendaki Hamba-Nya perbuatan yang baik yang berlawanan dengan perintahnya, dengan kata lain pada hakikatnya perbuatan yang yang dikerjakan manusia itulah yang sebenarnya dikehendaki Allah SWT sedang perbuatan buruk yang manusia kerjakan adalah kehendaknya sendiri dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Mereka lebih halus dari faham qodariyah yang mengatakan semua perbuatan manusia dan binatang adalah kehendak dan kekuatan sendiri sama ada yang baik atau yang buruk. Imam Syaharostani mengatakan: “Saya pernah melihat sebuah risalah yang di sandarkan kepada Hasan Al-Bashri bahwa beliau mengirim surat kepada Abdul Malik bin Marwan tentang sifat “Al-Qadar” dan pernyataan disitu sama dengan pendapat para Mu’tazilah. Yang mengherankan disitu mereka mengucapkan disitu bahwa bala, sakit, mati, hidup, dan lain-lain merupakan kehendak Allah. Tetapi kebaikan, keburukan, dan kejelekan merupakan kehendak manusia, bukankah ini kontradiksi?
c.       Perkataan mereka tentang adanya status diantara Mu’min dan kafir. Ini bermula dari kisah seorang penanya yang menemui Hasan Al-bashri. Penanya itu bertanya tentang orang-orang yang mengkafirkan para pelaku dosa besar, sebelum Hasan Al-bashri menjawab Wasil bin Atha’ sudah mendahului menjawab dan berkata “Menurut saya pelaku dosa besar itu tidak kafir secara mutlak dan juga tidak Mu’min tetapi ia berada diantara keduanya”. Kemudian ia berdiri dan meninggalkan majelis Hasan Al-Bashri dan duduk disalah satu tiang mesjid dan mendirikan majelis sendiri. Lalu Hasan Al-Bashri berkata “Semenjak itulah dia dan jama’anya disebut Mu’tazilah’.
d.      Pendapat mereka tentang Ashabul Jamal (perselisihan Ali ra dengan Aisyah ra) dan Ashabussiffin (perselisihan pihak Ali ra dengan Mu’awiyah ra), mereka menilai salah satu pihak dari Ashabul Jamal adalah fasiq dan tidak diterima persaksiannya. Jadi secara tidak langsung mereka telah mengatakan fasiq salah satu dari para sahabat yang bergabung bersama Ali ra atau Asiyah ra dalam peristiwa jamal. Demikian juga sahabat yag bersama Mu’awiyah dalam perang Saffin.
2.           Al-Hudzailiyah
      Mereka adalah kelompok yang digagaskan oleh Abu Hadzil Hamdan bin Hadzil Al-‘Allaf, dia termasuk syekhnya Mu’tazilah dan orang terkemuka diantara mereka, dia mendapat faham Mu’tazilah dari Utsman bin Kholid At-Towil dari Wasil bin Atha’. Persi ini mengatakan bahwa Abu Hadzil belajar Mu’tazilah itu dari Abu Hasyim Abudullah bin Muhammad bin Hanafiyah, dan persi lain mengatakan dia mengambil faham dari Hasan bin Abi Hasan Al Bashri.
3.      An-Nazzomiyah
      Mereka adalah aliran yang dipelopori oleh Ibrohim bin Sayyar bin Hani’ An-Nazzom. Ia telah banyak membaca kitab-kitab filosof sehingga kemudian bercampur dengan faham Mu’tazilah. Ia berpendapat dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah, antara lain ia mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan makhluk ini serentak  yaitu manusia, tumbuhan, hewan diciptakan serentak sebagaimana yang kita lihat sekarang. Pendapat ini di adopsi dari Filosof bertentangan dengan apa yang disepakati Ulama Salaf dan Kholaf. Kemudian ia mengatakan bahwa Ijma’ dan Qias itu tidak bisa dijadikan Hujjah, yang bisa dijadikan Hujjah hanyalah perkataan orang yang Ma’sum dari dosa. Yang lebih tragis lagi ia mengatakan I’jasnya Alqur’an, tingginya sastra Alqur’an itu adalah Cuma karena ia menceritakan perkara yang lewat dan yang akan datang karena lemahnya perhatian orang arab dalam membuat ayat yang serupa dengan Alqur’an. Kalau sekiranya itu semua tidak ada maka pasti ayat yang serupa susunan, fasohah dan balagohnya dengan Al-qur’an dapat dibuat manusia, padahal firman Allah SWT sudah jelas-jelas ada dalam surat AL isra’ ayat: 88 dan surat lainnya.
4.      Al-Khobitiyyah dan Al-Hadatsiyah
      Al-Khobitiyyah adalah pengikut Ahmad bin Khobit, demikian juga Al-Hadatsiyah adalah pengikut Fadl Al-Hadist. Sebetulnya kedua orang ini adalah Mu’tazilah Nazomiyah namun setelah membaca dan mempelajari banyak buku-buku filsafat mereka juga punya pikiran yang melenceng dari Mu’tazilah itu sendiri seperti: mereka meyakini bahwa dalam diri Nabi ‘Isa as itu ada unsur ketuhanan seperti apa yang di percayai Nasrani bahwa nanti di akhirat ‘Isa akan ikut menghitung amal manusia.
5.      Al-Bisyiriyah
      Mereka adalah pengikut Bisyri bin Mu’tamir, dia termasuk pembesar Mu’tazilah namun ada juga pendapat yang bersebrangan dengan Mu’tazilah lain seperti: ia berpendapat apabila seorang mengerjakan dosa besar kemudian ia bertaubat maka otomatis dosanya dihapus, kemudian pekerjaan itu diulangi lagi maka dosa yang ditaubati pertama kembali padanya karna syarat taubat adalah tidak mengulang dosa itu lagi.
6.      Al-Mu’ammariyah
      Ini adalah pengikut Mu’ammar bin ‘Abbad As-Salmi, dia termasuk pembesar Qodariyah dan ia banyak menyimpang dari Ahlussunnah bahkan Mu’tazilah sendiri seperti pendapatnya yang menampilkan Qodar baik dan buruk dari Allah SWT itu Qadim, bahkam menyesatkan dan mengkafirkan orang yang bersebrangan dengannya.
7.      Al-Madariyah
      Mereka adalah pengikut ‘Isa bin Sobih Al-Makni yang diberi gelar dengan “Mardar”, ia pernah menjadi murid Bisyri bin Mu’tamir dan ia digelar juga dengan Rohibul Mu’tazilah=guru besarnya Mu’tazilah. Ia berbeda dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah seperti: dia berpendapat pada sifat Qodratnya Allah SWT itu termasuk bahwa Allah SWT misalnya berdusta atau berlaku zalim maka jadilah Ia Tuhan yang Zalim dan Tuhan pendusta. Kemudian sang Mardar inilah yang paling menonjol menggembar-gemborkan bahwa Al-qur’an itu adalah makhluk dan manusia mampu membuat bacaan yang sama dengan Al-qur’an dari segi Balagoh, fasohah dan I’jasnya.
8.      Ats-tsumamiyah
      Ini adalah kelompok Tsumamah bin Asyros An-Namyri, ia termasuk Mu’tazilah yang ekstrim dan banyak berbeda dengan Mu’tazilah lain, seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa orang fasiq itu kekal di neraka dan mengatakan bahwa orang kafir dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Dahri, Musyrik dan Zanadiqoh nanti di akhirat akan jadi tanah, sama dengan binatang dan anak-anak orang beriman. Suatu riwayat menyebutkan ketika Tsumamah melihat kaum muslimin berlari kemesjid untuk solat jum’at karna takut terlambat maka dia berkata “lihatlah para kerbau itu, lihatlah himar-himar itu”.
9.      Al-hisyamiyah
      Mereka adalah pengikut Hisyam bin Amru Al-futi, ia adalah orang yang sangat ekstrim pada masalah Qudratnya Allah SWT. Ia mengingkari banyak perbuatan Allah yang sudah nyata sekalipun dalam Al-qur’an seperti: ia mengingkari bahwa Allah SWT yang menyatukan hati orang-orang beriman itu adalah mereka sendiri dengan ikhtiyar mereka. Padahal sudah jelas diungkapkan pada Al-qur’an
      Ahlussunnah berkomentar tentang “Al-futi” dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, siapa yang membunuh mereka dikenakan diat dan kiparart bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan taqorrub kepada Allah SWT.
10.  Al-Jahiziyyah
      Mereka adalah pengikut Amru bin Bahr Abu Utsman Al-Jahiziyyah, ia merupakan orang yang dimuliakan Mu’tazilah dan termasuk penyusun kitab-kitab mereka. Salah satu pendapatnya yang menyimpang dari Mu’tazilah lain adalah ia berpendapat bahwa orng yang musuk neraka itu tidak selamanya akan mendapat siksa tapi mereka akan menjelma jadi unsur dari api itu sendiri
11.  Al-Khoyyatiah dan Ka’biyah
      Mereka adalah kelompok Abu Husein bin Abu Amru Al-Khoyyat dan Ustadz Abu Qasim bin Muhammad Al-Ka’bi. Mereka ini adalah Mu’tazilah dari Bagdad, mereka bisa dibilang satu aliran.
12.  Al-Juba’iyyah dan Bahsyamiyah
      Mereka adalah pengikut Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab Al-Jubbai dan anaknya Abu Hasyim Abdussalam. Mereka berdua ini adalah orang Mu’tazilah dari Bashrah dan beberapa masalah berbeda dengan Mu’tazilah lainnya seperti: keduanya mengingkari bahwa Allah SWT akan dilihat diakhirat, mengatakan bahwa kalam Allah SWT adalah berhuruf, tersusun dan bersuara”[12]

Kesimpulan
      Setelah kita membaca dan mendengarkan tulisan sederhana di atas secara otomatis dapatlah kita menyimpulkan bahwa sebenarnya Mu’tazilah itu adalah salah satu Fiqroh/kelompok dalam islam yang mengendapkan pemikiran dan mengenyampingkan Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ apabila berbenturan dengan akal pikiran, secara pemikiran mereka banyak terpengaruh metode berpikirnya Folosof yunani yang jauh dari disiplin ketuhanan. Mereka bersebrangan dengan Ahlussunnah wal jama’ah dalam banyak masalah sehingga banyak Ulama yang mengecam mereka. Mu’tazilah berdiri sekitar abad pertama Hijriyah dengan dipelopori Wasil bin Atho’ dan jama’ahnya. Mereka pernah berjaya dimasa dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan faham Mu’tazilah ini sempat menjadi ideologi Khalifah Islamiyah walau sebenarnya tidak menerima di hati masyarakat muslimin. Tetapi setelah masa keemasan itu mereka tidak pernah lagi bangkit seperti dulu sampai sekarang. Tetapi walaupun demikian kita jangan lupa bahwa, fiqroh dan metode berpikir mereka dalam menyerap ajaran islam masih hidup di era globalisasi ini, namun barang kali berbeda nama dan rupa tapi sama makna dan tujuan.

DAFATAR PUSTAKA

      http//www.islam.download.com
      Lajnah aqidah wal filsafat Universiras Al-Azhar 2007-2008, hal: 9
      Makhtabah Al-Iman, Cairo, 2005, hal: 42
      Lajnah asatidz qismi al-hadist wa ulumihi, universitas Al-azhar, Syubhat haulassunnah wa rodduha, cairo, 2007-2008, hal: 52
      Makhtabah Al-Iman, Cairo, 2005, hal: 43-70


[1] kholid Syamhudi, Mu’tazilah, www.islam.download.com
[2] ibrohim bin ibrohim bin Hasan AL-Loqqni, Arjuzah jauharoh at-tauhid, lajnah aqidah wal filsafat Universitas Al-Azhar 2007-2008, hal: 9
[3] Imam Syaharostani, Milal wannihal, Mkhtabah Al-Iman, Cairo,2005,hal:42
[4] Ibrohim bin Ibrohim bin Hasan Al-Laqqoni, arjuzah jauharoh at-tauhid, lajnah aqidah wal filsafat universitas Al-Azhar 2007-2008,hal: 9
[5] Lajnah qismi al-hadist wa ulumihi universitas Al-azhar, Tarikh sunnah, cairo, 2006-2007, hal:161
[6] Lajnah asatidz qismi al-hadist wa ulumihi, universitas Al-azhar, Syubhat haulassunnah wa rodduha, cairo, 2007-2008, hal:52
[7] ibid: hal: 60
[8] Imam Syaharostani, Milal wannihal, Makhtabah Al-iman, cairo, 2005, hal:64
[9] kholid Syamhudi, Mu’tazilah’ www.islam.download.com
[10] Dia Ma’bad bin Abdullah bin Ulaim al-jahni al-bahsri. Dia orang bashroh yang pertama kali berkomentar tentang Qodarnya Allah SWT adalah Cuma kepada sesuatu yang baik dan mustahil kepada sesuatu yang jelek. Suatu saat ia dan ibnu Ash’as pergi menemui Hajjaj bin Yusuf maka dia dibunuh oleh Hajjaj setelah terlebih dahulu menyiksanya. suatu persi mengatakan ia mati di pancung oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan karna perkataannya tentang sifat “qadar” itu.
[11] Dia ibnu Muslim abu marwan orang kedua yang sama kontarnya dengan Ma’bad, suatu hari ia dipanggil oleh amirul mu’min Umar bin Abdul Aziz karna pertanyaannya tentang sifat “qadar” lalu disuruh taubat, namun ia kembali mengulang perkataannya pada masa Hisyam bin Abdul Malik lalu ia dipanggil kedua kali ke istana, lalu ia meminta taubat seperti yang dia lakukan kepada Kholifah Umar dulu supaya ia bebas, tapi san Khalifah enggan dan akhirnya membunuhnya.
[12] Imam Syaharostani, milal wannihal,  Makhtabah Al-iman, Cairo, 2005, hal: 43-70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar