BAB I
SEJARAH KEMUNCULAN MU’TAZILAH
Berbicara tentang perpecahan tentang umat islam
tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan perbedaan
dengan munculnya Khowarij dan syi’ah kemudian muncullah satu kelompok lain yang
berkedok dan berlindung dibawah syi’ar akal dan kebebasan berfikir. Satu syi’ar
yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana islam
telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin
yang terpuruk dan terjerumus masuk kepemikiran kelompok ini. Akhirnya
terpecalah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan
Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Akibat dari itu bermunculanlah
kebid’ahan-kebid’ahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga
melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar
terhadap ajaran islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat
berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan
pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah SWT
sehingga banyak ajaran islam yang tidak mereka akui karena menyelisihi akal
menurut akal prasangka mereka.
Oleh
karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah
yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih
dikembangnkan oleh para kolonialis orang Kristen dan yahudi dalam menghancurkan
kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah
pada era dewasa ini pemikiran Mu’tazilah dengan nama-nama yang cukup
menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan
Aqlaniyah. Modernisasi pemikiran. Westernasi dan Sekularisme serta nama-nama
lainnya yang mereka buat untuk menarik dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran
ini.
1. Defenisi Mu’tazilah :
- Secara Etimologi
Mu’tazilah
atau I’tizilah adalah kata yang dalam bahasa arab menunjukkan kesendirian,
kelemahan dan keputusan.
- Secara Terminology
Para ulama
banyak mendefinisikan kalimat ini, sebagian ulama mendefinisikannya sebagai
satu kelompok dari Qodariyah yang menyelisihi pendapat umat islam dalam
permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amru bin Ubaid pada zaman AL Hasan Al Basyri”[1].
Suatu persi menyebutkan munculnya Mu’tazilah adalah dari kisah Hasan Al-Bashri(21-110H).
Yang berbeda pendapat dengan muridnya yang bernama Washil bin Atha’ (80-131)
pada masalah pelaku dosa besar. Maka dengan I’tazalnya dari majelis Hasan Al-Bashri
dinamakan Washil dan orang-orang yang sepaham dengannya dengan Mu’tazilah.
Mereka begitu hebat melobi dan memutar kata sehingga bisa memegang pemerintahan
Islam selama kurang lebih dari dua ratus tahun. Sebagaimana berselisih faham
Hasan Bashri dengan muridnya berselisih pula Abu Hasan Al-asy’ari (260-330)
dengan gurunya yang bernama Abu Ali Al-juba’I (235-303) pada masalah sifat
Allah SWT yaitu wajibnya Allah berbuat baik ”[2].
Kemudian di
kitab lain kita menemukan juga perpotongan-perpotongan kalimat yang bersentuhan
dengan awal mula munculnya Mu’tazilah. “asal mula Mu’tazilah adalah ketika
Wasil bin ‘Atha’ Al-Ghazzlah (80-130) memisahkan diri dari majelis Hasan
Al-Bashri. Sejak itu dinamakan Wasil dan yang sepaham dengan dia dengan sebutan
Mu’tazilah, dan mereka dinamakan juga dengan ‘ashabul ‘Adl dan Tauhid’, dan dan diberi gelar dengan Al-Qodariyah dan AL-‘Adaliyah’[3].
Suatu persi mengatakan bahwa sebab munculnya Mu’tazilah adalah karena
berpisahnya Wasil bin Atho dan Amr bin Ubaid dari majlis dan Halaqohnya Al
Hasan Al Bashri. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada
seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashri, lalu berkata “wahai Imam, telah
muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan
dosa besar menurut mereka adalah kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari
agama, mereka adalah Al wa’idiyah Khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku
dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab
mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan,
sebagaimana tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah Murjiah
umat ini, maka bagaiman engkau
memberikan hukuman bagi kami dalam hal itu secara I’tikad? Lalu Al Hasan merenung
sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Wasil bin Atha:
“saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu’min dan tidak juga
kafir, akan tetapi dia didalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut
(manzila baina manzilatain), tidak mu’min dan tidak kafir”. Kemudian dia
berdiri dan memisahkan kesatu tiang dari
tiang-tiang mesjid, lalu menjelaskan jawbanya kepada murid Al Hasan, lalu
berkata Al Hasan: “telah berpisah (I’tizal) dari kita wasil”, dan Amr bin Ubaid
mengikuti langkah Wasil, maka kedua orang ini beserta pengikut lainnya
dinamakan Mu’tazilah”.
BAB II
PERKEMBANGAN MU’TAZILAH
Pada
awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat simpati dari umat islam. Karena
mereka sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan
filosofi itu. Alasan lain karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak teguh berpegang
pada sunah Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Kelompok
ini baru mendapat dukungan yang luas pada masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun
penguasa Abasyah (198-218 H/813-833). Kedudukan Mu’tazilah menjadi semakin
kokoh setelah Al-Ma’mun menjadikannya sebagai mahzab resmi Negara. Hal ini
disebabkan karena Al-Ma’mun sejak kecil di didik dalam tradisi Yunani yang
gemar akan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Karena mendapat dukungan dari pemerintahan, kaum
Mu’tazilah memaksa ajarannya kepada kelompok lain yang dikenal dengan peristiwa
mihnah. Mihnah itu timbul sehubungan dengan pendapat mereka bahwa Al-Qur’an
adalah kalam Allah SWT. Kalam adalah terdiri dari suara, tulisan mushaf dan
dapat ditiru bunyinya. Al-Qur’an itu makhluk dalam arti ciptaan Tuhan. Karena
diciptakan maka itu sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika dikatakan
Al-Qur’an itu qadim maka kesimpulannya ada yang qadim selain Allah SWT dan itu
musyrik hukumnya. Khalifah Al-Ma’mun menginstruksi agar di adakan mengujian
terhadap aparat pelaksanaannya (mihnah) tentang keyakinan mereka akan paham
ini. Dalam pelaksanaan bukan hanya aparat pemerintah tetapi juga para
tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh yang menjadi korban,
salah satunya adalah Imam Hambali. Peristiwa ini berakhir pada saat
kepemimpinan Al-Mutawakkil (memrintah 232-247H/842-847M).
BAB III
Pandangan Mu’tazilah Terhadap Al-Qur’an dan Hadist
Pandanga Mu’tazilah tentang
Al-Qur’an secara umum memang berbeda dengan mayoritas para Ulama, mulai dari
cara mereka beradab dengan Al-Qur’an dan mengingkari bebarapa nash yang begitu
nyata dalam Al-Qur’an. Seperti apa yang dipahami Mu’tazilah Nazomiyah bahwa
makhluk yang terdiri dari manusia, biantang, tumbuhan, langit dan bumi diciptakan
oleh Tuhan dengan serentak, padahal sudah ada dibicarakan dalam Al-Qur’an bahwa
semua itu bertahap. Kemudian jumhur Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
itu adalah makhluk. Setelah menyulap khalifah Al-Ma’mun, Mu’tazilah semakin
aktif menjalankan aksinya, apalagi setelah sang Khalifah mengumumkan faham
Mu’tazilah sebagai ideology negara dan memaksa masyarakat supaya membenarkan
apa yang sebetulnya berlawanan dengan keyakinan mereka. Disinalah kita baca
seorang ulama-ulama Ahlissunnah mengalami penekanan, boikot bahkan penyiksaan.
Sampai kurun waktu 200 tahun. Sampai akhirnya Kholifah Al-Mutawakil (218 H)
naik sebagai pemegang estapet kepemimpinan tertinggi dalam islam dan dia mengumumkan
kecondongannya kepada Ahlissunnah wal jama’ah, setelah itu Mu’tazilah terkesan
lemah, loyo tanpa daya laksana ayam kehilangan induk, bahkan setelah itu sampai
sekarang mereka tidak lagi bisa bangkit tegak seperti dulu[4].
Banyak lagi disana peningkatan terhadap nash Al-Qur’an seperti pandapat mereka
bahwa orang-orang kafir, musrik, yahudi, nasrani akan mengalami siksaan yang
kekal dalam neraka, yang paling tragis sekali adalah ketika mereka mngatakan
bahwa manusia pasti sanggup membuat ayat yang serupa dengan Al-Qur’an baik dari
segi fasohah, balagoh, dan I’jaznya. Padahal sudah jelas-jelas di ungkapkan
dalam Al-qur’an bahwa sekali pun manusia dan jin bekerja sama untuk meniru
Al-Qur’an mereka tidak akan sanggup.
Kemudian
Mu’tazilah memandang sunnah/hadist tak jauh beda dengan pandangan mereka
terhadap Al-Qur’an, bahwa bagaimana pun juga fikiran yang didahulukan. Seperti
halnya periwayat dalam ilmu Hadist ‘mereka tidak menerima Hadist yang bersumber
dari Muhaddis-muhaddis bersebrangan pemikirannya dengan mereka demikian pula
para Muhaddis tidak menerima hadis yang diriwayatkan oleh Mu’tazilah’[5].
Akan tetapi “para ulama berbeda pendapat tentang mauqif Mu’tazilah dalam
pembagian Hadist kepada Mutawatir dan Ahad, sebagaimana Ahlissunnah membagi Hadist
kepada dua bagian itu dan menerima keduanya menjadi Hujjah. Suatu riwayat yang
bersumber dari Hasan Al-Bashri berkata: Abu Ali Al-Jubba’I dan satu jama’a dari
Ulama Mu’tazilah tidak membolehkan beramal dengan Hadist Ahad yang tsiqah dari
Nabi SAW, sama ada ia dari Ahlussunnah, Syi’ah, Khowarij, dan Qodariyah, namun
setelah abat pertama Hijriyah Mu’tazilah menyalahi Ijma’ Ulama Islam tadi”[6].
BAB IV
PANDANGAN JUMHUR ULAMA TERHADAP FAHAM MU’TAZILAH
Pandangan mayoritas Ulama kepada Mu’tazilah tergantung
kadar ke ekstriman kelompok Mu’yazilah itu sendiri namun secara umum memang
mayoritas Ulama tidak setuju dengan firqah ini. Ada beberapa pertanyaan Ulama
yang bisa kita baca seperti: “suatu saat Muhammad bin Hasan mengatakan” siapa
yang solat dibelakang Mu’tazilah maka hendaklah ia mengulangi solatnya” dan
ketika Abu Yusuf ditanya tentang pandangannya kepada Mu’tazilah beliau
menjawab” mereka adalah zanahdiqoh/kafir zinqid”[7]
dan dilain pernyataan kita baca ada
ungkapan yang lebih keras dari ini seperti: ‘Ahlussannah berkomentar tentang
“Al-Futi” dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum
muslimin, siapa yang membunuh mereka tidak akan dikenakan diat dan kiparat bahkan membunuh mereka adalah salah satu jalan
taqorrub kepada Allah SWT’[8].
Dari uraian dan kutipan diatas dapat kita pahami bahwa pemikiran mu’tazilah ini
tidak diterima dimayoritas ulama.
BAB V
TOKOH-TOKOH MU’TAZILAH
Ada banyak tokoh dan Ulama Mu’tazilah yang
bertebaran didaulah Arabiyah khususnya seperti yang dikutip dari sebuah
artikel: “Mu’tazilah terbagi menjadi dua kelompok besar saat menjalani misinya
dengan sponsor daulah Abbasiyah, yaitu:
1.
Cabang
Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Wasil bin Atho’, Amr bin
Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al ‘Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar
bin Ubaad, An Nadzhom, Asy Syahaam, Al jaahidz, Abu Ali Aljubaa’I, Abu Hasyim
Al Jubaa’I dan yang lain-lainnya.
2.
Cabang
Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu’tamir, Abu Musa
Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja’far bin Harb, Ja’far
bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al-Balkhy
Al-Ka’by dan yang lain-lainnya”[9]
BAB VI
DOKTRIN MU’TAZILAH
Doktrin Mu’tazilah dikenal
dalam 5 ajaran pokok atau Al-Uhsul Al-khomsyah. Menurut pemuka-pemuka
Mu’tazilah diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar yakni
At-Tauhid, Al-Adl, Al-Wa’ad, Al-Manzilah bain Al-Manzilatain dan Al-Amr bi
Al-Ma’ruf wa Al-Nahy’an Al-Munkar.
1.
At-Tauhid
Ajaran pertama mu’tazilah ini artinya meyakini
sepenuhnya hanya Allah SWT Yang Maha Esa. Dia merupakan Zat yang unik, tidak
ada yang serupa dengan-Nya. Mereka menganggap konsep tauhid ini yang paling
murni sehingga mereka senang disebut Ahl At-Tauhid (pembela Tauhid). Dalam mempertahankan
keesaan Allah SWT, mereka
menafikkan segala sifat, sehingga mereka sering disebut Nafy As-Sifat. Yang
mereka maksud dengan penidiaan sifat yaitu bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat
yang berdiri diluar Zat-Nya, karena itu akan membawa pada yang qadim selain
Tuhan. Kaum mu’tazilah enggan mengakui adanya sifat Tuhan dalam pengertian
sesuatu yang melekat pada Zat Tuhan. Jika Tuhan dikatakan Maha Mengetahui maka
itu bukan sifat-Nya tapi
Zat-Nya.
2.
Al-Adl
(keadilan Tuhan)
Paham keadilan Tuhan membawa
pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat zalim pada
hamba-Nya. Dari sini tumbuh ajaran As-Salah wa Al-Salah. Maksudnya Tuhan wajib
berbuat baik pada manusia bahkan yang terbaik diantaaranya Tuhan tidak
membebani beban yang berat pada manusia. Tuhan wajib mengirim Rasul-rasulnya dan Nabi-nabinya untuk
menuntun kehidupan manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan-perrbuatanya.
3.
Al-Wa’ad
wa Al-Wa’id (janji dan ancaman)
Menurut mereka Tuhan wajib menepati
janjinya memasukan orang mukmin kedalam surga dan menepati ancaman-Nya memasukan
orang kafir ke dalam neraka meskipun Tuhan bisa memasukan orang yang berdosa
besar kedalam surga dan
menjerumuskan orang yang mukmin kedalam neraka, namun mustahil bagi-Nya karena
bertentangan dengan keadilan-Nya. Oleh karena itu manusia bertanggung jawab
atas perbuatannya. Jika manusia memilih beriman dan berbuat baik maka
dijanjikan masuk surga dan
manusia yang mungkar dan berbuat dosa
Tuhan mengancamnya ke neraka.
4.
Al-Manzilah
bain Al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi)
Paham ini
merupakan ajaran dasar pertama yang lahir dikalangan Mu’tazilah. Paham ini timbul
setelah terjadi peristiwa antara Wasil bin ‘atha’ dengan gurunya Hasan
Al-bahsri di Basra. Bagi Mu’tazilah orang yang berbuat dosa besar itu tidak
mukmin dan juga tidak kafir, melainkan berada dikeduanya. Menempati antara
mukmin dan kafir yang disebut fasik. Jika orang-orang yang mendapat predikat
fasik tidak melakukan taubat sebelum meninggal maka dia diancam kedalam neraka
dan kekal didalamnya, hanya saja siksaan yang mereka peroleh lebih ringan
dibandingkan siksaan orang kafir.
- Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy’aan Al-munkar (perintah agar mengerjakan kebajikan dan melarang kemungkaran)
Dalam prinsip mu’tazilah,
setiap muslim wajib menegakkan perbuatan yang baik dan menjauhi segala yang mungkar. Berpegang pada ajaran ini, kaum
mu’tazilah dalam sejarah pernah melakukan pemaksaan pada ajaran golongan lain
yang dikenal dengan peristiwa mihnah, yaitu memaksa pendapatnya terhadap
Al-Qur’an itu adalah ciptaan Tuhan. Mereka yang menentang pendapat ini wajib
dihukum. Demikian cara mereka menegakkan Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an
Al-munkar.
BAB VII
SEKTE-SEKTE MU’TAZILAH
Dan ada banyak
kelompok-kelompok kecil dalam tubuh
Mu’tazilah yang semua berdasarkan dari perbedaan pemikiran dalam setiap
tokohnya, yaitu:
1. Al-Washiliyah
Mereka adalah pengikut Abu Hudzaifah Wasil bin Atho’
Al-Ghazzalah. Dia murid Imam Hasan Al-Bashri dan keduanya hidup di zaman Khalifah
Abdullah bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik. Golongan ini bersebrangan
dengan Ahlussunnah wal jama’ah pada empat perkara:
a. Mereka menafikan empat macam dari sifat
Allah SWT yaitu: Al-Ilmu, Al-Qudroh, Al-Irodah, Al-Hayah. Pemikiran seperti ini
mereka dapatkan setelah banyak mutola’ah dan mendalami ilmu filsafah Yunaniyah.
Ulama salaf tentu tidak setuju dengan pendapat mereka ini karena memang
sifat-sifat diatas ada dalam alquran.
b. Pendapat mereka tentang “Qodar” Allah SWT.
Dalam hal ini mereka mengikuti perkataan ‘Ma’bad Al-Jahni’[10].
Dan Ghalian Ad-Dimisqi[11].
Wasil bin Atha’ sendiri pernah mengungkapkan bahwa Allah SWT adalah zat yang
bijaksana dan Maha Tahu dan tidak boleh disandarkan kepada-Nya perbuatan yang
tidak baik dan tidak mungkin Ia menghendaki Hamba-Nya perbuatan yang baik yang
berlawanan dengan perintahnya, dengan kata lain pada hakikatnya perbuatan yang
yang dikerjakan manusia itulah yang sebenarnya dikehendaki Allah SWT sedang
perbuatan buruk yang manusia kerjakan adalah kehendaknya sendiri dan tidak ada
kaitannya dengan Tuhan. Mereka lebih halus dari faham qodariyah yang mengatakan
semua perbuatan manusia dan binatang adalah kehendak dan kekuatan sendiri sama
ada yang baik atau yang buruk. Imam Syaharostani mengatakan: “Saya pernah
melihat sebuah risalah yang di sandarkan kepada Hasan Al-Bashri bahwa beliau
mengirim surat kepada Abdul Malik bin Marwan tentang sifat “Al-Qadar” dan
pernyataan disitu sama dengan pendapat para Mu’tazilah. Yang mengherankan
disitu mereka mengucapkan disitu bahwa bala, sakit, mati, hidup, dan lain-lain
merupakan kehendak Allah. Tetapi kebaikan, keburukan, dan kejelekan merupakan
kehendak manusia, bukankah ini kontradiksi?
c. Perkataan mereka tentang adanya status
diantara Mu’min dan kafir. Ini bermula dari kisah seorang penanya yang menemui
Hasan Al-bashri. Penanya itu bertanya tentang orang-orang yang mengkafirkan
para pelaku dosa besar, sebelum Hasan Al-bashri menjawab Wasil bin Atha’ sudah
mendahului menjawab dan berkata “Menurut
saya pelaku dosa besar itu tidak kafir secara mutlak dan juga tidak Mu’min
tetapi ia berada diantara keduanya”. Kemudian ia berdiri dan meninggalkan
majelis Hasan Al-Bashri dan duduk disalah satu tiang mesjid dan mendirikan majelis
sendiri. Lalu Hasan Al-Bashri berkata “Semenjak itulah dia dan jama’anya
disebut Mu’tazilah’.
d. Pendapat mereka tentang Ashabul Jamal
(perselisihan Ali ra dengan Aisyah ra) dan Ashabussiffin (perselisihan pihak
Ali ra dengan Mu’awiyah ra), mereka menilai salah satu pihak dari Ashabul Jamal
adalah fasiq dan tidak diterima persaksiannya. Jadi secara tidak langsung
mereka telah mengatakan fasiq salah satu dari para sahabat yang bergabung
bersama Ali ra atau Asiyah ra dalam peristiwa jamal. Demikian juga sahabat yag
bersama Mu’awiyah dalam perang Saffin.
2.
Al-Hudzailiyah
Mereka adalah kelompok yang digagaskan
oleh Abu Hadzil Hamdan bin Hadzil Al-‘Allaf, dia termasuk syekhnya Mu’tazilah
dan orang terkemuka diantara mereka, dia mendapat faham Mu’tazilah dari Utsman
bin Kholid At-Towil dari Wasil bin Atha’. Persi ini mengatakan bahwa Abu Hadzil
belajar Mu’tazilah itu dari Abu Hasyim Abudullah bin Muhammad bin Hanafiyah,
dan persi lain mengatakan dia mengambil faham dari Hasan bin Abi Hasan Al
Bashri.
3. An-Nazzomiyah
Mereka adalah aliran yang dipelopori oleh
Ibrohim bin Sayyar bin Hani’ An-Nazzom. Ia telah banyak membaca kitab-kitab
filosof sehingga kemudian bercampur dengan faham Mu’tazilah. Ia berpendapat
dengan Mu’tazilah lain pada beberapa masalah, antara lain ia mengatakan bahwa
Allah SWT menciptakan makhluk ini serentak
yaitu manusia, tumbuhan, hewan diciptakan serentak sebagaimana yang kita
lihat sekarang. Pendapat ini di adopsi dari Filosof bertentangan dengan apa
yang disepakati Ulama Salaf dan Kholaf. Kemudian ia mengatakan bahwa Ijma’ dan Qias
itu tidak bisa dijadikan Hujjah, yang bisa dijadikan Hujjah hanyalah perkataan
orang yang Ma’sum dari dosa. Yang lebih tragis lagi ia mengatakan I’jasnya Alqur’an, tingginya sastra
Alqur’an itu adalah Cuma karena ia menceritakan perkara yang lewat dan yang
akan datang karena lemahnya perhatian orang arab dalam membuat ayat yang serupa
dengan Alqur’an. Kalau sekiranya itu semua tidak ada maka pasti ayat yang
serupa susunan, fasohah dan balagohnya dengan Al-qur’an dapat dibuat manusia,
padahal firman Allah SWT sudah jelas-jelas ada dalam surat AL isra’ ayat: 88
dan surat lainnya.
4. Al-Khobitiyyah dan Al-Hadatsiyah
Al-Khobitiyyah adalah pengikut Ahmad bin
Khobit, demikian juga Al-Hadatsiyah adalah pengikut Fadl Al-Hadist. Sebetulnya
kedua orang ini adalah Mu’tazilah Nazomiyah namun setelah membaca dan
mempelajari banyak buku-buku filsafat mereka juga punya pikiran yang melenceng
dari Mu’tazilah itu sendiri seperti: mereka meyakini bahwa dalam diri Nabi ‘Isa
as itu ada unsur ketuhanan seperti apa yang di percayai Nasrani bahwa nanti di
akhirat ‘Isa akan ikut menghitung amal manusia.
5. Al-Bisyiriyah
Mereka adalah pengikut Bisyri bin Mu’tamir,
dia termasuk pembesar Mu’tazilah namun ada juga pendapat yang bersebrangan
dengan Mu’tazilah lain seperti: ia berpendapat apabila seorang mengerjakan dosa
besar kemudian ia bertaubat maka otomatis dosanya dihapus, kemudian pekerjaan
itu diulangi lagi maka dosa yang ditaubati pertama kembali padanya karna syarat
taubat adalah tidak mengulang dosa itu lagi.
6. Al-Mu’ammariyah
Ini adalah pengikut Mu’ammar bin ‘Abbad
As-Salmi, dia termasuk pembesar Qodariyah dan ia banyak menyimpang dari Ahlussunnah
bahkan Mu’tazilah sendiri seperti pendapatnya yang menampilkan Qodar baik dan
buruk dari Allah SWT itu Qadim, bahkam menyesatkan dan mengkafirkan orang yang
bersebrangan dengannya.
7. Al-Madariyah
Mereka adalah pengikut ‘Isa bin Sobih Al-Makni
yang diberi gelar dengan “Mardar”, ia pernah menjadi murid Bisyri bin Mu’tamir
dan ia digelar juga dengan Rohibul
Mu’tazilah=guru besarnya Mu’tazilah. Ia berbeda dengan Mu’tazilah lain pada
beberapa masalah seperti: dia berpendapat pada sifat Qodratnya Allah SWT itu
termasuk bahwa Allah SWT misalnya berdusta atau berlaku zalim maka jadilah Ia
Tuhan yang Zalim dan Tuhan pendusta. Kemudian sang Mardar inilah yang paling
menonjol menggembar-gemborkan bahwa Al-qur’an itu adalah makhluk dan manusia
mampu membuat bacaan yang sama dengan Al-qur’an dari segi Balagoh, fasohah dan
I’jasnya.
8. Ats-tsumamiyah
Ini adalah kelompok Tsumamah bin Asyros
An-Namyri, ia termasuk Mu’tazilah yang ekstrim dan banyak berbeda dengan Mu’tazilah
lain, seperti pendapatnya yang mengatakan bahwa orang fasiq itu kekal di neraka
dan mengatakan bahwa orang kafir dari Yahudi, Nasrani, Majusi, Dahri, Musyrik
dan Zanadiqoh nanti di akhirat akan jadi tanah, sama dengan binatang dan
anak-anak orang beriman. Suatu riwayat menyebutkan ketika Tsumamah melihat kaum
muslimin berlari kemesjid untuk solat jum’at karna takut terlambat maka dia
berkata “lihatlah para kerbau itu, lihatlah himar-himar itu”.
9. Al-hisyamiyah
Mereka adalah pengikut Hisyam bin Amru
Al-futi, ia adalah orang yang sangat ekstrim pada masalah Qudratnya Allah SWT. Ia
mengingkari banyak perbuatan Allah yang sudah nyata sekalipun dalam Al-qur’an
seperti: ia mengingkari bahwa Allah SWT yang menyatukan hati orang-orang
beriman itu adalah mereka sendiri dengan ikhtiyar mereka. Padahal sudah jelas
diungkapkan pada Al-qur’an
Ahlussunnah berkomentar tentang “Al-futi”
dan pengikutnya bahwa darah dan harta mereka halal bagi kaum muslimin, siapa
yang membunuh mereka dikenakan diat dan kiparart bahkan membunuh mereka adalah
salah satu jalan taqorrub kepada Allah SWT.
10. Al-Jahiziyyah
Mereka adalah pengikut Amru bin Bahr Abu
Utsman Al-Jahiziyyah, ia merupakan orang yang dimuliakan Mu’tazilah dan
termasuk penyusun kitab-kitab mereka. Salah satu pendapatnya yang menyimpang
dari Mu’tazilah lain adalah ia berpendapat bahwa orng yang musuk neraka itu
tidak selamanya akan mendapat siksa tapi mereka akan menjelma jadi unsur dari
api itu sendiri
11. Al-Khoyyatiah dan Ka’biyah
Mereka adalah kelompok Abu Husein bin Abu
Amru Al-Khoyyat dan Ustadz Abu Qasim bin Muhammad Al-Ka’bi. Mereka ini adalah Mu’tazilah
dari Bagdad, mereka bisa dibilang satu aliran.
12. Al-Juba’iyyah dan Bahsyamiyah
Mereka adalah pengikut Abu Ali Muhammad
bin Abdul Wahab Al-Jubbai dan anaknya Abu Hasyim Abdussalam. Mereka berdua ini
adalah orang Mu’tazilah dari Bashrah dan beberapa masalah berbeda dengan Mu’tazilah
lainnya seperti: keduanya mengingkari bahwa Allah SWT akan dilihat diakhirat, mengatakan
bahwa kalam Allah SWT adalah berhuruf, tersusun dan bersuara”[12]
Kesimpulan
Setelah kita membaca dan mendengarkan tulisan
sederhana di atas secara otomatis dapatlah kita menyimpulkan bahwa sebenarnya
Mu’tazilah itu adalah salah satu Fiqroh/kelompok dalam islam yang mengendapkan
pemikiran dan mengenyampingkan Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ apabila berbenturan
dengan akal pikiran, secara pemikiran mereka banyak terpengaruh metode
berpikirnya Folosof yunani yang jauh dari disiplin ketuhanan. Mereka
bersebrangan dengan Ahlussunnah wal jama’ah dalam banyak masalah sehingga
banyak Ulama yang mengecam mereka. Mu’tazilah berdiri sekitar abad pertama
Hijriyah dengan dipelopori Wasil bin Atho’ dan jama’ahnya. Mereka pernah
berjaya dimasa dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan faham
Mu’tazilah ini sempat menjadi ideologi Khalifah Islamiyah walau sebenarnya
tidak menerima di hati masyarakat muslimin. Tetapi setelah masa keemasan itu
mereka tidak pernah lagi bangkit seperti dulu sampai sekarang. Tetapi walaupun
demikian kita jangan lupa bahwa, fiqroh dan metode berpikir mereka dalam
menyerap ajaran islam masih hidup di era globalisasi ini, namun barang kali
berbeda nama dan rupa tapi sama makna dan tujuan.
DAFATAR PUSTAKA
http//www.islam.download.com
Lajnah aqidah wal filsafat Universiras Al-Azhar 2007-2008, hal: 9
Makhtabah Al-Iman, Cairo, 2005, hal: 42
Lajnah asatidz qismi al-hadist wa ulumihi, universitas Al-azhar, Syubhat haulassunnah wa rodduha, cairo,
2007-2008, hal: 52
Makhtabah Al-Iman, Cairo, 2005, hal: 43-70
[1] kholid Syamhudi, Mu’tazilah,
www.islam.download.com
[2] ibrohim
bin ibrohim bin Hasan AL-Loqqni, Arjuzah
jauharoh at-tauhid, lajnah aqidah wal filsafat Universitas Al-Azhar
2007-2008, hal: 9
[3] Imam
Syaharostani, Milal wannihal, Mkhtabah
Al-Iman, Cairo,2005,hal:42
[4] Ibrohim
bin Ibrohim bin Hasan Al-Laqqoni, arjuzah
jauharoh at-tauhid, lajnah aqidah wal filsafat universitas Al-Azhar
2007-2008,hal: 9
[5] Lajnah
qismi al-hadist wa ulumihi universitas Al-azhar, Tarikh sunnah, cairo,
2006-2007, hal:161
[6] Lajnah
asatidz qismi al-hadist wa ulumihi, universitas Al-azhar, Syubhat haulassunnah wa rodduha, cairo, 2007-2008, hal:52
[7] ibid:
hal: 60
[8] Imam
Syaharostani, Milal wannihal, Makhtabah
Al-iman, cairo,
2005, hal:64
[9] kholid
Syamhudi, Mu’tazilah’
www.islam.download.com
[10] Dia
Ma’bad bin Abdullah bin Ulaim al-jahni al-bahsri. Dia orang bashroh yang
pertama kali berkomentar tentang Qodarnya Allah SWT adalah Cuma kepada sesuatu
yang baik dan mustahil kepada sesuatu yang jelek. Suatu saat ia dan ibnu Ash’as
pergi menemui Hajjaj bin Yusuf maka dia dibunuh oleh Hajjaj setelah terlebih
dahulu menyiksanya. suatu persi mengatakan ia mati di pancung oleh Khalifah
Abdul Malik bin Marwan karna perkataannya tentang sifat “qadar” itu.
[11] Dia
ibnu Muslim abu marwan orang kedua yang sama kontarnya dengan Ma’bad, suatu
hari ia dipanggil oleh amirul mu’min Umar bin Abdul Aziz karna pertanyaannya
tentang sifat “qadar” lalu disuruh taubat, namun ia kembali mengulang
perkataannya pada masa Hisyam bin Abdul Malik lalu ia dipanggil kedua kali ke
istana, lalu ia meminta taubat seperti yang dia lakukan kepada Kholifah Umar
dulu supaya ia bebas, tapi san Khalifah enggan dan akhirnya membunuhnya.
[12] Imam
Syaharostani, milal wannihal, Makhtabah Al-iman, Cairo, 2005, hal: 43-70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar