BAB I
QIYAS
.
A. Pengertian Qiyas dan kedudukannya
Qiyas adalah hukum keempat setelah
Al-Quran, hadits dan ijma’. Pentingnya pengetahuan kita tentang Qiyas adalah
sangat di butuhkan karena dengan pahamnya kita tentang Qiyas kita dapat
menjalankan segala kewajiban kita dengan penuh keyakinan yang sangat menunjang
kekhusyuan kita dalam beribadah. Walaupun banyak sekali kita dapatkan sekarang
ini masalah-masalah yang kadang membuat kita ragu untuk melaksanakannya
sehingga segala sesuatu biasa menjadi terhambat terutama masalah ibadah kepada
Allah.[1]
Pengertian Qiyas menurut ulama’
ushul ialah
menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada hukum nashnya dalam Al-Qur’an dan
hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang di tetapkan hukumnya
berdasarkan nash.
Dengan
cara Qiyas berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum seauatu
kepada sumbernya Al-Qur’an dan hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas
dalam nash Al-Qur’an atau hadits, kadang juga brsifat implisit analogi
terkandung dalam nash tersebut. Mengenai Qiyas ini imam Syafi’I mengatakan :
Setiap paristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat islam, wajib
melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumya yang pasti, maka
harus di cari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah
Qiyas jadi hukum islam itu adakala dapat di ketahui melalui bumyi nash, yakni
hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam Al-Qur’an dan hadits, adakalanya
harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian
itu dapat di peroleh melalui pendekatan Qiyas.
Qiyas juga menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan
atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu
mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan
sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter
atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang
lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, Qiyas ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
Telah
terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi
tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan
hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian
atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan
apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena
itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas,
ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan
hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash
yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan
contoh-contoh berikut:
Contohnya: narkotika adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan
hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar
hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari
perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu
perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Artinya:
"Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung
dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor,
termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat
keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Antara
minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama
berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram,
sebagaimana haramnya meminum khamr.
B. Syarat-syarat Qiyas
Untuk
dapat melakukan Qiyas terhadap seutu masalah yang belum ada ketentuannya dalam
Al-Qur’an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[2]
- Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
- Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan hadits
- Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula Qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada Qiyas.
- Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya.
- Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal.
- Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada asal. Artinya tadak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
- tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
- Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah.
C. Rukun Qiyas
Bedasarkan
defenisibahwa qiyas ialah mempesamakan hukum sesuatu peristiwa yang tidak ada
nashnya dengan suatu hukum peristiwa yang ada nashnya, karena ‘illat seupa
‘maka rukun qiyas ada empat:[3]
- Al-ashl (الأصل) yaitu dasar, titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (musabbah bih)
- Al-furu’ (الفرع) suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal tadi disebut musyabbah.
- ‘Illat (العلة) suatu sebab yang menjidikan adanya hukum sesuatu dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiyaskn masalah kedua(furu’) kepada masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dan furu’.
- Hukum (الحكم) yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buahnya.
BAB II
HUKUM QIYAS
Qiyas menurut menerangkan dalam nashnya dengan cara sesuatu yang berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[4]
Dengan
demikian hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip
persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum
khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’ân yaituSebagaimana firman
Allah Swt (Qs.5:90).
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah setiap minuman illat di dalamnya hukumnya tersebut adalah haram.[5] Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:[6]
1. Menggunakan hukum pada nashnya baik dalam Al Qur’ân, hadits, pendapat
shahabat maupun ijma ulama.
2. Mazhab
Imamiyah, mereka menggunakan tidak mengakui adanya illat nash dan tidak
berusaha mengetahui sasaran dan nash tujuan alasan-alasannya suatu kepastian dengan illat. Menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok pemakaian berbagai hal
Kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’ân dan hadits.[7]
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syari’ dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat masalah baik dengan nash ataupun ijmad dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’.[8] Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
”Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari
kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka,
bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka
dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka
dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
(Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kita mengambil pelajaran. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu kepada cabang maka menjadi (hukum) diperintahkan. Yang diperintahkan Karena dua kata tadi illat dan qiyas memiliki pengertian melampaui.[9]
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali
kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada supaya menyelidiki
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal
ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[10]
Sementara mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup karena qiyas macam ijtihad.[11]
Sedangkan
dalil yang qiyas adalah Nabi shahabat……..
BAB III
MACAM-MACAM QIYAS
A.
Dilihat dari Segi Perbandingan
Dilihat
dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashl dan yang terdapat
pada cabang, maka Qiyas terbagi menjadi tiga macam, yakni :
1.
Qiyas
Awla,
Yaitu ‘illat yang terdapat pada
furu’ lebih utama dari ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya mengqiyaskan
hukum haram memukul kedua orang tua haram hukum menyatakan “ah” yang terdapat
pada firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 23
“Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”
Memukul
dan mengatkan “ah” terhadap orang tua sama-sama menyakiti keduanya. Namun,
perbuatan memukul dalam qiyas ini sebagai cabang lebih menyakiti orang tua
sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan ‘ah’ yang
terdapat pada ashl.
2.
Qiyas
musawi,
Yaitu ‘illat yang terdapat pada
cabang sama bobotnya dengan ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman
Allah yang terdapat pada surat An Nisa’ ayat 10
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
Ayat
ini melarang memakan harta anak yatim dengan ‘illat dapat melenyapkan cabang
sama bobotnya dengan ‘illat memakan harta tersebut, karena sama-sama melenyeapkan
harta anak yatim.
3.
Qiyas
al-Adna,
Yaitu ‘illat yang terdapat pada
cabang lebih rendah bobotnya dibandingkan ‘illat yang terdapat pada ashl.
Misalnya, firman Allah surat al-Maidah ayat 90 tentang larangan meminum khamar
dengan ‘illat memabukkan. Dengan menggunakan qiyas al-adna ditetapkan bahwa
‘illat memabukkan yang terdapat pada minuman keras ‘bir’ lebih rendah dari
sifat memabukkan yang terdapat yang terdapat pada minuman keras khamar,
meskipun pada ashl dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan.[12]
B. Dilihat
dari segi jlas atau idak jelasnya
Apabila
dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi landasan hukum,
maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam :
1.
Qiyas
Jali,
Yaitu qiyas yang dinyatakan
‘illatnya secara tegas dalam Al Quran dan Sunnah atau tidak dinyatakan secara
tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan
bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan ‘illatnya.
Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan larangan mengucapkan “ah”
sebagaimana dalam contoh qiyas awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas
jali ini meliputi apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.
2.
Qiyas
Khafi,
Yaitu qiyas yang illatnya di
istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan
dengan memakai benda tajam karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu
kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana
terdapat pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam.
BAB IV
DASAR HUKUM QIYAS
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab
yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar
hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat
tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan
dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak
membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada
kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat
dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan
pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang
Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai
dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
1. 'Illat
'Illat
ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk
menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum
ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu
sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar
untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan
tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam
bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak
kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan
tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan 'illat hukum. Hikmah hukum
merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah
untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan
keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. 'Illat hukum suatu
sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.
'Illat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan
mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum,
sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah
adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar
shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua
raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau
kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan
dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti,
seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak
membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama
lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit. Menurut mereka
'illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang dapat dicapai
akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan
pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang
dalam peristiwa itu 'illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada
siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur,
demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan
sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Tetapi terbenam
dan tergelincirnya matahari itu bukanlah 'illat hukum karena kedua sebab itu
tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan)
disamping ia merupakan 'illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang
membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum
dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua 'illat dapat dikatakan sebab,
tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan 'illat.
2. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang
disepakati ulama, yaitu:
- Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
- Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
- 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
- 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
3. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang
sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada
empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan
sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah
menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid
itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid."
(al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan
hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan
hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT
di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram
mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan
penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu
jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai
'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai
'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan
hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan
anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan
'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih
kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan
wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu.
Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan
'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan kekuasaan
wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula
diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh
mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi
tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya,
seperti membukukan al-Qur'an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan
atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi
seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah
tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari
kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur'an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun,
tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat
mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai
dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas
pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki
dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat
ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara' mengisyaratkan
pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian
perempuan.
4. Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)
Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang digunakan
untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut,
ialah:
a. Nash yang
menunjukkannya;
b. Ijma' yang
menunjukkannya
c. Dengan penelitian.
Dengan penelitian ini terbagi kepada:
1.
Munasabah
2.
Assabru wa taqsîm
3.
Tanqîhul manath
4.
Tahqîqul manath
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu
sifat merupakan 'illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. 'Illat yang
demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang
disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa
yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau
isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada 'illat
hukum jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri
menunjukkan 'illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat daIam
nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya. Dalalah
sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath'i dan
kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan
kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman AlIah SWT:
Artinya:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang
membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah agar manusia tidak
mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat
peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna
dan ba'darrasûl merupakan 'illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan
kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging
binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan).
Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR.
an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW
melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang
memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat
ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang
memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash
kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dengan keras (dhanni), karena
kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Seperti firman Allah
SWT:
Artinya:
"Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai
gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada
perkataan liduluki dan huruf al-bâ' pada perkataan fabidhulmi. Al-lâm
berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ' berarti
disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan,
akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan
dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima' (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya,
atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu
dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat
itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat
itu. Ada beberapa macam dalalah ima', diantaranya ialah:
a. Mengerjakan suatu pekerjaan
karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW
mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun
shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia
telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari contoh di
atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi 'illat dilakukan sujud
sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan
'illat untuk memerdekakan budak.
b. Menyebutkan suatu sifat bersamaan
(sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan
sebagai 'illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad
SAW bersabda:
Artinya: "Seseorang tidak boleh memberi keputusan
antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut
bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua orang berperkara yang
merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan
menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
"Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang
barisan berkuda mendapat dua bagian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat
perbedaan pembagian harta rampasan perang.
d. Membedakan dua hukum dengan
syarat, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak)
itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka
berikanlah upahnya..."
(ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat
('illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang ditalak bain dan
rnenyusukan anak menjadi syarat ('illat) pemberian upah menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan
batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
"...dan
janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas
('illat) kebolehan suami mencampuri isteri.
f. Membedakan antara dua hukum
dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah..." (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan
pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
g.
Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah
SWT:
Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja." (al-Mâidah: 89)
Pada ayat ini Allah SWT membedakan hukum dua perbuatan,
yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan perbuatan berupa sumpah
yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan 'illat untuk penetapan hukum.
b. Ijma' yang menunjukkannya
Maksudnya, ialah 'illat itu ditetapkan dengan ijma', belum
baligh (masih kecil) menjadikan 'illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang
belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.
c. Dengan penelitian
Ada
bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
1. Munasabah
Munasabah ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau
sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian
yang dapat diterima akal, karena persesuaian itu ada hubunganya dengan
mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Allah
SWT menciptakan syari'at bagi manusia ada maksudnya dan tujuannya, yaitu
mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka
syari'at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu:
a. Tingkat dharuri (yang harus ada);
b. Tingkat haji (yang sangat
diperlukan); dan
c. Tingkat tahsini (yang baik sekali
dikerjakan).
Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua, tingkat
kedua lebih utama dari tingkat ketiga.
a. Tingkat dharuri
Tingkat dharuri adalah hal-hal yang harus ada, tidak boleh
tidak ada dalam usaha menegakkan agama Islam dan kepentingan umum. Apabila hal
itu tidak ada tentulah akan rusak dan binasa dunia ini.
Tingkat dharuri ini mempunyai pula lima tingkat, tingkat
pertama lebih utama, kemudian baru tingkat kedua, setelah itu tingkat ketiga,
setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila tingkat pertama
berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan tingkat pertama, demikianlah
seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima
tingkat itu, ialah:
- Memelihara agama. Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya;
- Memelihara jiwa, untuk ini dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyari'atkan hukum qishash dan sebagainya.
- Memelihara akal, untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak akal;
- Memelihara keturunan, untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya; dan
- Memelihara harta, untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.
b. Tingkat haji
Manusia dalam kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang dan
ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama dalam menghadapi kewajiban
dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan Allah SWT kepada mereka. Bagi
orang-orang yang dalam keadaan kesempitan dan kesukaran Allah SWT selalu
memberikan kelapangan dan kemudahan bagi mereka. Seandainya kemudahan dan
keringanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan terasa sulit dan
sengsara. Haji terdapat pada:
- Ibadat, seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya;
- Mu'amalat, seperti boleh melakukan salam, ijârah dan sebagainya;
- Adat, seperti boleh berburu.
c. Tingkat tahsini
Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama
yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau tahsini ada, kehidupan manusia
akan tinggi nilainya dan terasa indah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan
manusia tidak akan rusak. Diantara contoh taksini ialah:
- Dalam ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang sunnah dan sebagainya;
- Adat, seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
- Mu'amalat, seperti menghindarkan diri dari menjual najis.
Dalam munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana
yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk
tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang
berhubungan dengan dharuri harus lebih diutamakan menjalankannya jika
berlawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk
menghilangkan jiwa diharamkan oleh Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan
dibolehkan untuk menegakkan agama. Meminum khamar diharamkan karena merusak
akal, tetapi meminum khamar itu dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa
terpelihara.
2. Assabru wa taqsim
Assabru
berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi
atau memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian,
kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat
dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash
tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang
menerangkan 'illatnya.
Contoh As sabru wa taqsim adalah
sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW mengharamkan riba
fadhli, yaitu menukar benda-benda tertentu yang sejenis dengan takaran atau
timbangan yang berbeda, berdasarkan sabda beliau:
Artinya
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan
gandum, padi Belanda dengan padi Belanda, kurma dengan kurma, garam dengan
garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi kontan. Apabila berbeda
jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila itu dilakukan dengan
kontan."
(HR. Muslim)
Dalam menetapkan haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits
di atas, tidak ada nash yang lain atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Karena
itu perlu dicari 'illatnya dengan as sabru wa taqsim.
Ada enam macam yang disebut dalam hadits di atas. Para
mujtahid mencari sifat-sifat dari yang enam macam itu, kemudian menetapkan
sifat yang sama dan patut dijadikan 'illat. Yang pertama ialah gandum.
Sifat-sifat gandum, ialah pertama termasuk jenis yang dapat dipastikan
ukurannya, karena ia dapat diukur dengan takaran, kedua ia termasuk jenis
makanan, bahkan ia termasuk jenis makanan pokok, dan ketiga ia termasuk jenis
tanaman. Kemudian kita terapkan sifat-sifat ini pada lima macam yang lain. Pada
emas dan perak hanya didapati sifat pertama, pada gandum, padi Belanda dan
kurma terdapat ketiga macam sifat di atas, sedang pada garam didapati sifat
pertama dan kedua. Berdasarkan penetapan itu maka diperoleh satu sifat yang
dipunyai oleh keenam macam tersebut pada hadits di atas, yaitu sifat pertama
bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang dapat dipastikan dengan
ukurannya baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat ini dapat ditetapkan
sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa haram mempertukarkan barang yang
sejenis yang dapat dipastikan ukurannya bila tidak sama timbangan, takaran,
mutu dan tidak pula dilakukan dengan kontan.
b. Sepakat para ulama bahwa para
wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu,
tetapi tidak ada nash yangmenerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid
meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya. Diantara sifat yang
mungkin dijadikan 'illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa
(rusyd). Pada ayat 6 surat an-Nisâ' tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang
wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah
belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan
yang berada di bawah perwaliannya.
3. Tanqîhul manath
Tanqîhul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada
pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama
sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang
tidak sama ditinggalkan. Sebagai contoh ialah, pada ayat 25 surat an-Nisâ'
diterangkan bahwa hukuman yang diberikan kepada budak perempuan adalah separuh dari
hukuman kepada orang merdeka sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman
bagi budak laki-Iaki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya
maka yang sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat
kebudakan itu sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak
laki-Iaki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari
hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
4. Tahqiqul manath
Tahqiqul manath, ialah menetapkan 'illat. Maksudnya ialah
sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak.
Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada fara'. Dalam hal ini mungkin
ada yang berpendapat bahwa 'illat itu dapat ditetapkan pada fara' dan mungkin
pula ada yang tidak berpendapat demikian. Contohnya, ialah 'illat potong tangan
bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat
penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat para ulama jika
'illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dari kubur. Menurut
Syafi'iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil
harta di tempat penyimpanannya, yaitu dalam kubur sedang Hanafiyah tidak
menjadikan sebagai 'illat, karena itu pencuri kafan tidak dipotong tangannya.
DAFTAR
PUSTAKA
- Zahrah Abu Muhammad, Ushul fiqh.Pustaka Firdaus,Jakarta, 2005.
- Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul fiqih, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003
- http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/macam-macam-qiyas.html
- http://orgawam.wordpress.com/2008/09/28/ijma-dan-qiyas-adalah-juga-sumber-hukum-islam/
- http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/132/qiyas.html
[1]
Zahrah
Abu Muhammad, Ushul fiqh.Pustaka Firdaus,Jakarta, 2005
[2]
Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul fiqih, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003
[3]
http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/macam-macam-qiyas.html
[4]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
[5]
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[7]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[8]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqh, hal 175.
[9]Wahbah
al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.
[10]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[11]
Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.
[12]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum,
(Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 380-381
Tidak ada komentar:
Posting Komentar