Senin, 07 Oktober 2013

Qiyas

BAB I
QIYAS
.

A. Pengertian Qiyas dan kedudukannya

Qiyas adalah hukum keempat setelah Al-Quran, hadits dan ijma’. Pentingnya pengetahuan kita tentang Qiyas adalah sangat di butuhkan karena dengan pahamnya kita tentang Qiyas kita dapat menjalankan segala kewajiban kita dengan penuh keyakinan yang sangat menunjang kekhusyuan kita dalam beribadah. Walaupun banyak sekali kita dapatkan sekarang ini masalah-masalah yang kadang membuat kita ragu untuk melaksanakannya sehingga segala sesuatu biasa menjadi terhambat terutama masalah ibadah kepada Allah.[1]

Pengertian Qiyas menurut ulama’ ushul ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada hukum nashnya dalam Al-Qur’an dan hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang di tetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Dengan cara Qiyas berarti para mujtahid telah mengembalikan ketentuan hukum seauatu kepada sumbernya Al-Qur’an dan hadits. Sebab hukum islam, kadang tersurat jelas dalam nash Al-Qur’an atau hadits, kadang juga brsifat implisit analogi terkandung dalam nash tersebut. Mengenai Qiyas ini imam Syafi’I mengatakan : Setiap paristiwa pasti ada kepastian hukum dan umat islam, wajib melaksanakannya. Akan tetapi jika tidak ada ketentuan hukumya yang pasti, maka harus di cari pendekatan yang sah, yaitu dengan ijtihad. Dan ijtihad itu adalah Qiyas jadi hukum islam itu adakala dapat di ketahui melalui bumyi nash, yakni hukum-hukum yang secara tegas tersurat dalam Al-Qur’an dan hadits, adakalanya harus digali melalui kejelian memahami makna dan kandungan nash. Yang demikian itu dapat di peroleh melalui pendekatan Qiyas.

Qiyas juga menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.

Menurut para ulama ushul fiqh, Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.


Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:
Contohnya: narkotika adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT. 

Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)

Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.

B. Syarat-syarat Qiyas

Untuk dapat melakukan Qiyas terhadap seutu masalah yang belum ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[2]
  • Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
  • Asal serta hukumnya sudah ada ketentuan menurut agama artinya sudah ada menurut ketegasan Al-Qur’an dan hadits 
  • Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula Qiyas, artinya hukum asal itu dapat diperlakukan pada Qiyas.
  • Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu pada hukum asal, karena untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya.
  • Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada asal.
  • Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang ada pada asal. Artinya tadak boleh hukum furu’ menyalahi hukum asal.
  • tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum. Artinya illat itu selalu ada.
  • Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak boleh menyalahi kitab dan sunnah. 
C. Rukun Qiyas
Bedasarkan defenisibahwa qiyas ialah mempesamakan hukum sesuatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan suatu hukum peristiwa yang ada nashnya, karena ‘illat seupa ‘maka rukun qiyas ada empat:[3]
  • Al-ashl (الأصل) yaitu dasar, titik tolak dimana suatu masalah itu dapat disamakan (musabbah bih)
  • Al-furu’ (الفرع) suatu masalah yang akan diqiyaskan disamakan dengan asal tadi disebut musyabbah.
  • ‘Illat (العلة) suatu sebab yang menjidikan adanya hukum sesuatu dengan persamaan sebab inilah baru dapat diqiyaskn masalah kedua(furu’) kepada masalah yang pertama (asal) karena adanya suatu sebab yang dapat dikompromikan antara asal dan furu’.
  • Hukum (الحكم) yaitu ketentuan yang ditetapkan pada furu’ bila sudah ada ketetapan hukumnya pada asal, disebut buahnya.











BAB II
HUKUM QIYAS

            Qiyas menurut menerangkan dalam nashnya dengan cara sesuatu yang berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[4]

            Dengan demikian hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’ân yaituSebagaimana firman Allah Swt (Qs.5:90).

            Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah setiap minuman illat di dalamnya hukumnya tersebut adalah haram.[5] Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:[6]

1. Menggunakan hukum pada nashnya baik dalam Al Qur’ân, hadits, pendapat
shahabat maupun ijma ulama.

2. Mazhab

            Imamiyah, mereka menggunakan tidak mengakui adanya illat nash dan tidak
berusaha mengetahui sasaran dan nash tujuan alasan-alasannya suatu kepastian dengan illat. Menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3. Kelompok pemakaian berbagai hal

            Kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’ân dan hadits.[7]

            Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syari’ dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat masalah baik dengan nash ataupun ijmad dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syari’.[8] Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kita mengambil pelajaran. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu kepada cabang maka menjadi (hukum) diperintahkan. Yang diperintahkan Karena dua kata tadi illat dan qiyas memiliki pengertian melampaui.[9]

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Qs.4:59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali
kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada supaya menyelidiki
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal
ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[10]

Sementara mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup karena qiyas macam ijtihad.[11]
Sedangkan dalil yang qiyas adalah Nabi shahabat……..

BAB III
MACAM-MACAM QIYAS
A.    Dilihat dari Segi Perbandingan
Dilihat dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashl dan yang terdapat pada cabang, maka Qiyas terbagi menjadi tiga macam, yakni :

1.      Qiyas Awla,

Yaitu ‘illat yang terdapat pada furu’ lebih utama dari ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua haram hukum menyatakan “ah” yang terdapat pada firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 23
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”

Memukul dan mengatkan “ah” terhadap orang tua sama-sama menyakiti keduanya. Namun, perbuatan memukul dalam qiyas ini sebagai cabang lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan ‘ah’ yang terdapat pada ashl.

2.      Qiyas musawi,

Yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang sama bobotnya dengan ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman Allah yang terdapat pada surat An Nisa’ ayat 10
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim dengan ‘illat dapat melenyapkan cabang sama bobotnya dengan ‘illat memakan harta tersebut, karena sama-sama melenyeapkan harta anak yatim.

3.      Qiyas al-Adna,

Yaitu ‘illat yang terdapat pada cabang lebih rendah bobotnya dibandingkan ‘illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman Allah surat al-Maidah ayat 90 tentang larangan meminum khamar dengan ‘illat memabukkan. Dengan menggunakan qiyas al-adna ditetapkan bahwa ‘illat memabukkan yang terdapat pada minuman keras ‘bir’ lebih rendah dari sifat memabukkan yang terdapat yang terdapat pada minuman keras khamar, meskipun pada ashl dan cabang sama-sama terdapat sifat memabukkan.[12]

B.     Dilihat dari segi jlas atau idak jelasnya

Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam :

1.      Qiyas Jali,
Yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al Quran dan Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan larangan mengucapkan “ah” sebagaimana dalam contoh qiyas awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.


2.      Qiyas Khafi,
Yaitu qiyas yang illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam.



















BAB IV
DASAR HUKUM QIYAS
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
1. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.
Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.
Hikmah hukum berbeda dengan 'illat hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. 'Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.
'Illat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.
Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit. Menurut mereka 'illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu 'illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Tetapi terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah 'illat hukum karena kedua sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) disamping ia merupakan 'illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.
Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua 'illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan 'illat.
2. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
  1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
  2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
  3. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
  4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.
3. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/31-2.gif
Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur'an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur'an.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.
4. Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)
Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya;
b. Ijma' yang menunjukkannya
c. Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
1.      Munasabah
2.      Assabru wa taqsîm
3.      Tanqîhul manath
4.      Tahqîqul manath
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan 'illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
1. Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada 'illat hukum jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan 'illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat daIam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath'i dan kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.
Daialah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman AlIah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/33-1.gif
Artinya:
"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna dan ba'darrasûl merupakan 'illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/32-1.gif
Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR. an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Seperti firman Allah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/35-1.gif
Artinya:
"Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan firman Allah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/36-1.gif
Artinya:
"Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ' pada perkataan fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ' berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2. Dalalah ima' (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima', diantaranya ialah:
a. Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari contoh di atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi 'illat dilakukan sujud sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan 'illat untuk memerdekakan budak.
b. Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/37-1.gif
Artinya: "Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/38-1.gif
Artinya:
"Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua bagian." (HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.

d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/39-1.gif
Artinya:
"...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka berikanlah upahnya..." (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat ('illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat ('illat) pemberian upah menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/40-1.gif
Artinya:
"...dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas ('illat) kebolehan suami mencampuri isteri.
f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/41-1.gif
Artinya: "Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah..." (al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah SWT:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/42-1.gif
Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja." (al-Mâidah: 89)
Pada ayat ini Allah SWT membedakan hukum dua perbuatan, yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan perbuatan berupa sumpah yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan 'illat untuk penetapan hukum.
b. Ijma' yang menunjukkannya
Maksudnya, ialah 'illat itu ditetapkan dengan ijma', belum baligh (masih kecil) menjadikan 'illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.
c. Dengan penelitian
Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
1. Munasabah
Munasabah ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal, karena persesuaian itu ada hubunganya dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Allah SWT menciptakan syari'at bagi manusia ada maksudnya dan tujuannya, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka syari'at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu:
a. Tingkat dharuri (yang harus ada);
b. Tingkat haji (yang sangat diperlukan); dan
c. Tingkat tahsini (yang baik sekali dikerjakan).
Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua, tingkat kedua lebih utama dari tingkat ketiga.
a. Tingkat dharuri
Tingkat dharuri adalah hal-hal yang harus ada, tidak boleh tidak ada dalam usaha menegakkan agama Islam dan kepentingan umum. Apabila hal itu tidak ada tentulah akan rusak dan binasa dunia ini.
Tingkat dharuri ini mempunyai pula lima tingkat, tingkat pertama lebih utama, kemudian baru tingkat kedua, setelah itu tingkat ketiga, setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila tingkat pertama berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan tingkat pertama, demikianlah seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima tingkat itu, ialah:
  • Memelihara agama. Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya;
  • Memelihara jiwa, untuk ini dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyari'atkan hukum qishash dan sebagainya.
  • Memelihara akal, untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak akal;
  • Memelihara keturunan, untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya; dan
  • Memelihara harta, untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.
b. Tingkat haji
Manusia dalam kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang dan ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama dalam menghadapi kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan Allah SWT kepada mereka. Bagi orang-orang yang dalam keadaan kesempitan dan kesukaran Allah SWT selalu memberikan kelapangan dan kemudahan bagi mereka. Seandainya kemudahan dan keringanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan terasa sulit dan sengsara. Haji terdapat pada:
  • Ibadat, seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya;
  • Mu'amalat, seperti boleh melakukan salam, ijârah dan sebagainya;
  • Adat, seperti boleh berburu.
c. Tingkat tahsini
Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau tahsini ada, kehidupan manusia akan tinggi nilainya dan terasa indah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan manusia tidak akan rusak. Diantara contoh taksini ialah:
  • Dalam ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang sunnah dan sebagainya;
  • Adat, seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
  • Mu'amalat, seperti menghindarkan diri dari menjual najis.
Dalam munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang berhubungan dengan dharuri harus lebih diutamakan menjalankannya jika berlawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk menghilangkan jiwa diharamkan oleh Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan dibolehkan untuk menegakkan agama. Meminum khamar diharamkan karena merusak akal, tetapi meminum khamar itu dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa terpelihara.
2. Assabru wa taqsim
Assabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang menerangkan 'illatnya.
Contoh As sabru wa taqsim adalah sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar benda-benda tertentu yang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda, berdasarkan sabda beliau:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/43-1.gif
Artinya
"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi Belanda dengan padi Belanda, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi kontan. Apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila itu dilakukan dengan kontan." (HR. Muslim)
Dalam menetapkan haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits di atas, tidak ada nash yang lain atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Karena itu perlu dicari 'illatnya dengan as sabru wa taqsim.
Ada enam macam yang disebut dalam hadits di atas. Para mujtahid mencari sifat-sifat dari yang enam macam itu, kemudian menetapkan sifat yang sama dan patut dijadikan 'illat. Yang pertama ialah gandum. Sifat-sifat gandum, ialah pertama termasuk jenis yang dapat dipastikan ukurannya, karena ia dapat diukur dengan takaran, kedua ia termasuk jenis makanan, bahkan ia termasuk jenis makanan pokok, dan ketiga ia termasuk jenis tanaman. Kemudian kita terapkan sifat-sifat ini pada lima macam yang lain. Pada emas dan perak hanya didapati sifat pertama, pada gandum, padi Belanda dan kurma terdapat ketiga macam sifat di atas, sedang pada garam didapati sifat pertama dan kedua. Berdasarkan penetapan itu maka diperoleh satu sifat yang dipunyai oleh keenam macam tersebut pada hadits di atas, yaitu sifat pertama bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang dapat dipastikan dengan ukurannya baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat ini dapat ditetapkan sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa haram mempertukarkan barang yang sejenis yang dapat dipastikan ukurannya bila tidak sama timbangan, takaran, mutu dan tidak pula dilakukan dengan kontan.
b. Sepakat para ulama bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yangmenerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan 'illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat 6 surat an-Nisâ' tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya.
3. Tanqîhul manath
Tanqîhul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama ditinggalkan. Sebagai contoh ialah, pada ayat 25 surat an-Nisâ' diterangkan bahwa hukuman yang diberikan kepada budak perempuan adalah separuh dari hukuman kepada orang merdeka sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-Iaki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya maka yang sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-Iaki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.
4. Tahqiqul manath
Tahqiqul manath, ialah menetapkan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada fara'. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa 'illat itu dapat ditetapkan pada fara' dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian. Contohnya, ialah 'illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat para ulama jika 'illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dari kubur. Menurut Syafi'iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harta di tempat penyimpanannya, yaitu dalam kubur sedang Hanafiyah tidak menjadikan sebagai 'illat, karena itu pencuri kafan tidak dipotong tangannya.

DAFTAR PUSTAKA



[1] Zahrah Abu Muhammad, Ushul fiqh.Pustaka Firdaus,Jakarta, 2005
[2] Bakry Nazar, Fiqih dan Ushul fiqih, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003
[3] http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/macam-macam-qiyas.html
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 173.
[5] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 53.
[7] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[9]Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 592.
[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, hal 175.
[11] Abdul Wahhab al-Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal 56.
[12] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum, (Cet. I; Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 380-381

Tidak ada komentar:

Posting Komentar